TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai penggunaan isu suku, ras dan agama dalam Pilkada 2018 masih akan marak terjadi.
"Sangat besar peluangnya. Terutama di media sosial," kata dia di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Ahad, 25 Maret 2018.
Baca juga: Enam Model Kampanye Hitam Diprediksi Terjadi di Pilkada 2018
Ardi menuturkan penggunaan isu SARA dalam pilkada memang buruk untuk demokrasi. Namun, ia tak bisa memungkiri bahwa model politik kebencian seperti itu sangat efektif untuk memenangkan seorang calon. "Ini dilakukan terus menerus karena memang terbukti berhasil," kata dia.
Menurut Ardi penggunaan isu SARA dalam kampanye juga terbukti murah dan efisien. Dengan bujet kecil, kata dia, pelaku tinggal menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian di media sosial. "Lebih murah dari politik uang," kata dia.
Ardi menuturkan aturan pelarangan penggunaan isu SARA dalam kampanye sulit diterapkan. Sebab, pelaku kampanye biasanya dilakukan pihak ketiga yang sulit dibuktikan keterkaitannya dengan pasangan calon. Inilah yang menjadi penyebab penggunaan isu SARA masih akan jadi primadona di Pilkada 2018.
Baca juga: Kejaksaan Tinggi Sumut Tunggu Berkas Perkara Tersangka JR Saragih
Ardi meminta Komisi Pemilihan Umum lebih gencar melakukan sosialisasi soal bahaya penggunaan politik SARA. Selain itu, dia berharap partai politik tak menggunakan isu ini demi kepentingan politik sesaat.
"Saya harap masyarakat juga harus mampu membedakan sebuah informasi yang bermuatan politik dan yang tidak," kata dia.