TEMPO.CO, Jakarta - Ada peraturan yang unik dalam Debat Publik Pemilihan Gubernur Jawa Timur atau Pilgub Jatim 2018 yang digelar Sabtu 23 Juni 2018 malam.
Kedua pasangan calon, baik Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dan Saifullah Yusuf atau Gus Ipul-Puti Guntur, wajib menyampaikan jawaban dalam bahasa daerah pada salah satu segmen. Pada segmen terakhir, pembaca acara Brigita Manohara melontarkan pertanyaan dalam bahasa Jawa, terutama dialek Jawa Timuran.
Baca juga: Debat Pilgub Jatim 2018, 2 Paslon Tak Ada Persiapan Khusus
Kedua pasangan kandidat diwakili oleh masing-masing pihak yang menjadi calon gubernur. Pasangan nomor urut satu diwakili oleh Khofifah, sedangkan pasangan nomor urut dua diwakili oleh Saifullah Yusuf. Meskipun sama-sama berasal dari Jawa Timur, keduanya ternyata sempat terlihat kesulitan menyampaikan pendapat secara konsisten dalam bahasa Jawa.
Itu terlihat saat pembawa acara menanyakan bagaimana cara masing-masing kandidat mensinergikan kerja antara pemerintahan dan swasta dalam menanggulangi bencana di Jawa Timur.
Gus Ipul yang mendapat giliran pertama, langsung minta maaf. “Nyuwun pangapunten (mohon maaf) kalau disampaikan sitik-sitik (sedikit-sedikit) campur Bahasa Indonesia,” ujarnya lalu tersenyum kepada audiens yang hadir di Dyandra Convention and Exhibition Center.
Baca juga: Pilkada Jawa Timur, Layanan Perekaman Data E-KTP Dibuka Nonstop
Dengan tempo pengucapan yang lebih lambat dari biasanya, Gus Ipul menyampaikan rasa syukur karena pihak swasta telah banyak membantu pemerintah provinsi Jawa Timur selama ini ketika terjadi bencana. Bahasa Jawanya bercampur antara bahasa Indonesia, bahasa Jawa ngoko dan krama inggil. “Kulo bersyukur Jatim gadah kathah pihak-pihak swasta ingkang kerso ndamel pelayanan bencana yang bekerja sama kalih pemprov Jatim ( Saya bersyukur banyak pihak swasta di Jawa Timur yang ikut membuka pelayanan bencana bekerjasama dengan pemprov Jatim),” tutur dia.
Sementara itu, Khofifah yang mendapat giliran kedua juga awalnya tampak kikuk karena mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sempat terdiam selama beberapa detik, perempuan kelahiran Surabaya itu mulai rileks dan menggunakan bahasa Jawa krama inggil dengan lancar.
Mantan Menteri Sosial Kabinet Kerja Jokowi itu mendapat pertanyaan perihal cara mengatasi permasalahan perbedaan data dan informasi antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, revolusi industry 4.0 dapat dimanfaatkan untuk menjawab tantangan tersebut.
Baca: juga Survei: Khofifah-Emil Unggul di Mataraman, Arek dan Tapal Kuda
“Industri 4.0 saget dipilih sedanten sektor-sektor lan data diintegrasikan. Wekdal pengalaman kulo teng pemerintah Kementerian Sosial, pusat data lan informasi ditingkataken statuse, kalih eselon-eselon membutuhkan kordinasi lan integrasi (Industri 4.0 dapat dipilih bersama sektor-sektor lain dan data diintegrasikan. Berdasarkan pengalaman saya di pemerintah Kementerian Sosial, pusat data dan informasi ditingkatkan statusnya, beserta eselon-eselon yang membutuhkan kordinasi dan integrasi),” kata dia.
Ditemui usai debat, Khofifah mengaku lahir dan besar di kota Surabaya. Ia lebih terbiasa menggunakan bahasa Jawa Suroboyoan, sehingga saat debat harus berhati-hati menggunakan bahasa Jawa dengan dialek secara umum. “Aku ini Arek Surabaya, kan bahasanya Suroboyoan. Mas Emil ini yang malah lebih halus. Jadi kalau pakai bahasa Suroboyoan khawatir dianggap kok agak kurang sopan,” katanya.
Baca juga: Ini Janji Gus Ipul Mengikis Ketimpangan Perekonomian Jawa Timur
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur Gogot Cahyo Baskoro mengatakan menambahkan, Debat Publik Pilgub Jatim 2018 menerapkan peraturan baru itu agar mengandung local wisdom, yakni bahasa daerah. "Di segmen menjelang statemen penutup, para pasangan calon harus berbahasa Jawa Timur-an sebagai wujud kearifan lokal," ujar dia.
Panelis pada debat bertema “Tata Kelola Pemerintahan dan Pelayanan Publik” itu terdiri dari empat akademikus. Mereka ialah Biyanto dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Kris Nugroho dari Universitas Airlangga Surabaya, Dian Fericha dari IAIN Tulungagung, dan Andy F Wijaya dari Universitas Brawijaya Malang.