TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Kacung Marijan, menyayangkan masih dipakainya simbol-simbol agama dalam upaya meraih simpati pemilih oleh dua kubu calon gubernur dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur atau Pilgub Jatim 2018.
Menurut Kacung, sebaiknya dua kubu mengedepankan argumentasi yang rasional. "Tapi dua kubu masih sama-sama memakai (simbol agama), " ujar Kacung, Senin, 11 Juni 2018.
Baca juga: Pilgub Jatim, Khofifah-Emil Unggul di Daerah Basis Nasionalis
Simbol agama dalam upaya meraih dukungan muncul saat sejumlah ulama pro-Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak menggelar pertemuan di Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Mojokerto pada 3 Juni 2018.
Pertemuan itu menghasilkan fatwa bernomor 1/SF-FA/6/2018 yang menyebutkan bahwa mencoblos Khofifah-Emil hukumnya fardu ain alias wajib bagi setiap orang. Menurut fatwa itu orang yang memilih Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno, padahal ada calon yang lebih baik, maka orang itu dianggap mengkhianati Allah dan rasul.
Baca juga: Ketua DPRD Kota Surabaya Kena Semprit Pengawas Pilkada Jatim
Menyikapi fatwa itu Saifullah Yusuf atau Gus Ipul enggan merespon. "Bahwa pasangan calon lain menerbitkan fatwa, saya tak mau komentar," katanya.
Namun menurut Kacung, mobilisasi pemilih melalui imbauan kiai maupun ulama dalam Pilgub Jatim 2018 juga dilakukan oleh kubu Gus Ipul. Dalam setiap kunjungan Gus Ipul ke pesantren, kiai pendukung juga meminta masyarakat memilih Gus Ipul-Puti Guntur pada saat hari pemilihan. "Ada fatwa juga untuk Gus Ipul dari Pasuruan yang sama fungsinya untuk memperkuat pendukung Gus Ipul," ucap Kacung yang juga Wakil Rektor Unusa.
Baca juga: Barikade Gus Dur Deklarasi Dukung Khofifah-Emil di Pilgub Jatim
Kacung tak melihat fatwa ataupun imbauan dari ulama pendukung masing-masing calon berpengaruh signifikan menggaet dukungan pemilih. "Efektifnya hanya pada pendukung masing-masing calon saja, ke pendukung calon lain tidak," kata dia.