TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, mengatakan kemenangan kotak kosong yang terjadi di Makassar memiliki sisi positif.
“Oligarki politik dilawan oleh publik, itu yang paling jelas. Itu yang disebut good news-nya melalui kemenangan kotak kosong,” kata Syamsuddin kepada wartawan saat ditemui di Hotel Century Park, Jakarta, Senin, 2 Juli 2018.
Baca: Relawan Kotak Kosong Minta Aktor Pemanipulasi Data Ditangkap
Syamsuddin mengatakan kabar gembira tersebut seperti yang terjadi di pilkada Makassar, Sulawesi Selatan. Sebab, kemenangan suara diraih oleh pasangan calon yang bukan berasal dari dinasti politik. Masyarakat dianggap semakin memiliki kesadaran menggunakan hak suaranya.
Hal serupa disampaikan peneliti lembaga survei Populi Center, Nona Evita. “Artinya bentuk partisipasi masyarakat meningkat,” kata Nona.
Di sisi lain, Nona menganggap kekalahan calon tunggal mencerminkan ketidakmampuan partai politik melakukan perekrutan dan kaderisasi.
Fenomena pemilihan kepada daerah atau pilkada Wali Kota Makassar yang memenangkan kolom kosong menjadi perbincangan. Hasil hitung cepat atau quick count oleh Celebes Research Center, perolehan suara pada kolom kosong unggul dibanding pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika.
Baca: Jika Kotak Kosong Menang, KPU Gelar Ulang Pilkada Makassar 2020
Secara undang-undang, pemilihan umum memang tetap bisa dilakukan meski hanya ada calon tunggal. Calon tunggal akan disandingkan dengan kolom kosong dan dinyatakan menang jika mendapat lebih dari 50 persen suara.
Pada diskusi evaluasi pilkada serentak 2018 yang diadakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Populi Center, munculnya calon tunggal dianggap menggambarkan semakin beratnya persyaratan bagi kader partai untuk mencalonkan diri.
INSAN QURANI