Aktivis dari Koalisi Kawal Pilkada menggelar poster di Gedung KPU, Jakarta, 9 November 2015. Koalisi tersebut, membentuk website KawalPilkada.id guna mengajak masyarakat berpartisipasi aktif melakukan pengawalan dan pengawasan selama proses pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan dana bantuan sosial masih rawan dijadikan permainan politik saat Pilkada serentak pada Desember mendatang. Apalagi, pemilihan tersebut diikuti oleh 200 calom inkumben. “Masalahnya adalah klaim politiknya," ujar Almas usai konfrensi pers di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Senin, 9 November 2015.
Menurut dia, meskipun seluruh calon inkumben tersebut sudah mengundurkan diri, penyelewenangan fasilitas pemerintah tetap rawan karena calon tersebut masih memiliki pengaruh yang kuat. “Masyarakat kan kenal nya dia pejabat," kata Almas.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Public Virtue Institute Reza Temaputra mengatakan lebih dari seratus daerah yang mengalami kenaikan dana bantuan sosial. Dia mencatat hanya 80 daerah yang dana bantuan sosialnya berkurang. "Kecenderungannya dana bantuan sosial meningkat pada saat pilkada serentak," kata Reza.
Berdasarkan laporan Indeks Kerawanan Pilkada tahun 2015 yang disusun Bawaslu, politik uang masih menjadi sorotan. Laporan ini mengambil data dari bulan Mei hingga Juli 2015. Data ini bersumber dari hasil pengawasan, Badan Pusat Statiatik, Komisi Pemilihan Umun, Potensi Desa, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Dari hasil evaluasi terdapat lima wilayah dengan indeks kerawanan pencucian uang tertinggi. Wilayah tersebut adalah Sulawesi Tengah denagn indeks 3,5, Jawa Barat 3,3. Sementara dengan indeks 3,0 terdapat di beberapa lokasi yaitu Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Banten.