TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta baru akan menyidangkan gugatan Busyro Muqoddas cs terkait Pilkada 2020 pada 10 Desember mendatang atau satu hari setelah pemungutan suara. Kuasa hukum penggugat, Nurkholis Hidayat mengatakan majelis hakim PTUN telah menolak permohonan persidangan cepat atau speedy trial yang mereka ajukan.
Hari ini, kata Nurkholis, majelis hakim baru selesai melakukan sidang pemeriksaan alias dismissal. Adapun persidangan cepat tak bisa dilakukan dengan alasan mengikuti hukum acara.
"Majelis hakim tetap mengikuti hukum acara seperti biasa dan mereka akan memulai persidangan secara resmi tanggal 10 Desember," kata Nurkholis dalam konferensi pers, Kamis, 3 Desember 2020.
Menurut Nurkholis, persidangan cepat sebenarnya dimungkinkan menurut Peraturan Mahkamah Agung. Namun, kata dia, majelis hakim mengaku tak ingin melanggar hak para tergugat yang tak hadir dalam persidangan, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Nurkholis mengatakan DPR dan DKPP terus menerus absen kendati surat panggilan sudah dilayangkan. Kata dia, absennya dua pihak tersebut membuat sidang pemeriksaan berlangsung berlarut-larut.
Nurkholis mengatakan sidang pertama 10 Desember nanti pun digelar dengan agenda pembacaan gugatan. Penggugat pun sebenarnya meminta agar sidang tersebut langsung diagendakan untuk pembacaan jawaban para tergugat mengingat berkas gugatan sudah dikirimkan kepada para pihak.
Namun majelis hakim kembali menolak dengan alasan mengikuti hukum acara. "Jadi secara tidak langsung majelis hakim sudah menolak permohonan speedy trial kami," kata kuasa hukum dari Lokataru Law Firm and Foundation ini.
Dalam gugatan ini, Busyro Muqoddas dan sejumlah tokoh menggugat tindakan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum atas keputusan melanjutkan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 yang masih parah. Badan Pengawas Pemilu dan DKPP menjadi turut tergugat dalam perkara ini.
Para tergugat dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum dan membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat dengan memaksakan pilkada di tengah pandemi. Apalagi berbagai pihak, mulai dari Komnas HAM, ormas Islam, hingga para pakar telah menyerukan agar pilkada ditunda.
Selain Busyro Muqoddas, para penggugat lain adalah Irma Hidayana, Elisa Sutanudjaja, Ati Nurbaiti, dan Atnike Nova Sigiro. Latar belakang para penggugat di antaranya adalah aktivis, pegiat HAM bidang kesehatan, hingga jurnalis.
Dalam petitumnya, para penggugat memohon majelis hakim menyatakan bahwa tindakan pemerintah, DPR, dan KPU melanjutkan Pilkada Serentak 2020 adalah tindakan melanggar hukum. Penggugat juga meminta majelis hakim membatalkan Pilkada Serentak 2020.
Menurut Nurkholis, majelis hakim sempat meminta penggugat untuk menghapus poin petitum agar Pilkada 2020 dibatalkan. Sebab, petitum itu dianggap tak lagi relevan mengingat perkara baru akan diputus setelah pemungutan suara.
Namun Nurkholis mengatakan penggugat tak akan membatalkan poin tuntutan tersebut. "Esensi gugatan kami bukan hanya menghentikan pemungutan suara, tapi juga bagaimana kekuasaan yudisial mengontrol eksekutif dan legislatif," kata Nurkholis.