Alasan Busyro Muqoddas dkk Baru Gugat Pilkada 2020 ke PTUN
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Amirullah
Jumat, 20 November 2020 12:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum penggugat Pilkada 2020, Nurkholis Hidayat menjelaskan alasan Busyro Muqoddas dan sejumlah aktivis baru melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait Pilkada 2020. Merujuk situs PTUN Jakarta, gugatan ini didaftarkan pada 6 November 2020 atau 33 hari menjelang pemungutan suara pada 9 Desember mendatang.
"Karena dalam tata usaha negara kami tidak bisa serta merta menggugat, ada Peraturan Mahkamah Agung yang mensyaratkan waktu maksimum," kata Nurkholis kepada Tempo pada Kamis malam, 19 November 2020.
Yang dimaksud Nurkholis ialah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan setelah Menempuh Upaya Administratif. Perma ini mengatur warga yang keberatan dengan keputusan administratif harus mengajukan keberatan terlebih dulu sebelum mengajukan gugatan.
Kemudian Pasal 5 Perma ini menyebutkan bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan di pengadilan dihitung 90 hari sejak keputusan atas upaya administratif diterima oleh warga masyarakat atau diumumkan oleh badan dan/atau pejabat administrasi pemerintahan yang menangani penyelesaian upaya administratif.
Menurut Nurkholis, kliennya sudah mengajukan keberatan ihwal tetap dilaksanakannya Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang. Namun keberatan administratif itu diabaikan.
"Kami sudah keberatan dengan keputusan itu, banyak lembaga menyatakan ingin menunda, tapi diabaikan oleh pemerintah sampai 90 hari," kata Nurkholis. "Jadi majelis hakim memahami itu juga."
Nurkholis mengatakan keberatan Pilkada Serentak 2020 telah disuarakan banyak pihak. Seperti Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia Kota Makassar, Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), PP Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Namun pemerintah, DPR, dan KPU tetap memutuskan menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember. Kepastian Pilkada 9 Desember ini diputuskan dalam rapat kerja/rapat dengar pendapat ketiga pihak itu pada 21 September lalu.
Para penggugat menganggap pemerintah, DPR, dan KPU sengaja menempatkan dan membuat kesehatan dan keselamatan publik terancam. Pemerintah, DPR, dan KPU juga dianggap melanggar Pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Pasal ini mengatur bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam upaya penanggulangan wabah. Kemudian Pasal 4 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan bahwa perlindungan kesehatan masyarakat oleh pemerintah dilakukan salah satunya melalui kekarantinaan kesehatan.
Ada juga Pasal 201A ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 201A ayat (3) mengatur bahwa pilkada serentak dapat ditunda kembali untuk kedua kalinya apabila situasi belum memungkinkan.