TEMPO.CO, Jakarta - Tim pemenangan calon gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Anggawira, mengatakan pencalonan pasangan calon nomor satu dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 dikhawatirkan memunculkan dinasti politik.
Dalam siaran tertulisnya, Anggawira tidak menyebutkan nama. Tapi setelah dikonfirmasi, sindiran dinasti politik terebut ditujukan kepada Agus Harimurti Yudhoyono. “Karena kita tahu kemunculannya (Agus Harimurti Yudhoyono) tiba-tiba. Cenderung memang karena nepotisme dan belum ada track record,” kata Anggawira kepada Tempo, Senin, 9 Januari 2017.
Baca: Agus Calon Gubernur, Keputusan SBY Tepat: Ini Alasannya
Menurut Anggawira, pencalonan Agus perlu mendapat perhatian calon pemilih karena dalam memilih seorang pemimpin yang harus diutamakan adalah rekam jejak dan kapasitas yang mumpuni.
“Kita harus pilih berdasarkan rekam jejak, kualitas, dan kapasitas calon pemimpin. Jangan belum siap pimpin Jakarta karena didorong keluarga untuk maju, jadinya bangun dinasti politik,” ujarnya. Agus adalah putra sulung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Yudhoyono. SBY merupakan mantan Presiden RI keenam yang berkuasa selama dua periode.
Anggawira menilai, dinasti politik memiliki potensi korupsi yang besar. Dia mengatakan, modus politik dinasti biasanya dilakukan penguasa dengan menempatkan orang-orang yang masih berhubungan darah dan keturunan sebagai pejabat publik.
Misalnya, Anggawira menyebutkan, kasus Bupati Klaten Sri Hartini dan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yang tersangkut kasus korupsi. Lihatlah, kata dia, dinasti politik yang dibangun di Indonesia, termasuk Klaten dan Banten, motifnya bukan mendedikasikan diri untuk memaksimalkan pelayanan publik atau bekerja demi masyarakat.
Baca juga: Bantah Tak Berpengalaman, Agus Yudhoyono: Saya Siap Belajar
“Tapi rentan terjadi hal yang sifatnya pada korupsi yang terstruktur," kata Anggawira. Dia berujar, politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia.
Kadang, lanjut Anggawira, politik dinasti sengaja dibingkai seakan-akan lazim dalam berdemokrasi. “Padahal jika terjadi akan sangat masif korupsinya seperti yang sekarang baru terjadi," kata fungsionaris Partai Gerindra itu.
FRISKI RIANA