TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia, Nelson Simanjuntak, mengatakan kecurangan kerap muncul dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Menurut dia, kualitas pemilihan kepala daerah (pilkada) cenderung merosot dari waktu ke waktu, terutama karena maraknya praktek politik uang.
"Pemilu seperti alat pembuat pilu. Tidak menggembirakan," ujarnya dalam sebuah diskusi di kantor Bawaslu RI, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Jumat, 28 Oktober 2016.
Menurut Nelson, sejak pertama pemilu diberlakukan, sudah ada lebih dari 1.000 catatan kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan terkait dengan proses pemilu. Fakta itu, kata dia, berasal dari data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). "Banyak uang habis terpakai di masa pencalonan."
Untuk mengatasi kecurangan, ucap dia, pemerintah sudah menetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilu Kepala Daerah atau Pilkada. "Ada kewajiban petahana untuk cuti selama kampanye, ada juga mekanisme penjatuhan sanksi untuk calon yang terbukti memberikan uang kepada pemilih."
Nelson menganggap UU yang baru itu masih perlu sosialisasi. Padahal, di dalamnya banyak pemaparan mengenai sanksi pidana pelanggaran pilkada. "Begitu ada laporan, polisi sudah bisa menyidik. Banyak masyarakat belum tahu," katanya.
Tahapan pilkada serentak 2017 memasuki masa kampanye pasangan calon kepala daerah. Masa kampanye berlaku sejak 28 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017. Untuk proses itu, Bawaslu sudah menyatakan akan mendiskualifikasi peserta yang terbukti melakukan politik uang.
Calon kepala daerah yang terbukti memberikan mahar politik kepada partai politik, dan tidak melaporkan dana kampanye pun tak akan lolos dari diskualifikasi.
YOHANES PASKALIS
Baca juga:
Warga Bangka Belitung Demo Anti-Ahok
Pesta Sumpah Pemuda Digagas Jokowi Secara Spontan
JK: Penguasa yang Incar Dahlan Iskan Bukan di Jakarta