TEMPO.CO, Surabaya – Pemilihan Umum Kepala Daerah serentak 2015 di Jawa Timur diprediksi bakal kurang peminat. Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universitas Airlangga Surabaya menilai gebyar Pilkada belum menggerakkan masyarakat untuk antusias hadir ke Tempat Pemungutan Suara.
Berdasarkan survei terhadap 3.600 responden di Surabaya, Malang, dan Pacitan, hanya 19 persen warga yang menyatakan antusias. “Sebanyak 2 persen menanggapi dengan skeptis dan sisanya, 79 persen, menganggap biasa-biasa saja,” kata Ketua Puskakom Unair Suko Widodo kepada Tempo, Selasa, 8 Desember 2015.
Responden menyodorkan beragam alasan. Mereka yang merasa biasa-biasa saja rata-rata karena kurang percaya pada politik dan menganggap pilkada tak mengubah keadaan. "Ada yang secara nyata menyatakan skeptis karena mempertanyakan kualitas kandidatnya," ujar dosen Departemen Ilmu Komunikasi Unair itu.
Penyebab lain kurangnya antusiasme masyarakat ialah karena warga tak mendapat informasi yang memadai soal para kandidat, bahkan tidak tahu. Selain itu, terdapat akumulasi kekecewaan dari waktu waktu terhadap perpolitikan di Indonesia. Masyarakat menganggap mereka hanya hadir tatkala menjelang pemilihan saja. “Ini membuat demokrasi kita menjadi tidak berkualitas,” kata dia.
Puskakom memberikan beberapa saran untuk mengatasi keengganan masyarakat saat mencoblos. Menurutnya, parpol dan politikus perlu merombak sistem komunikasi dan marketing politik konvensional. Ditambah lagi, KPU membatasi penggunaan alat peraga kampanye berupa baliho.
Apalagi di era digital saat komunikasi modern menjadi serba online, kecepatan arus komunikasi informasi harus diterapkan. Para kandidat harus cepat mengubah sistem strategi komunikasi dengan menggunakan media baru. “Ke depan, pemilih berasal dari kaum muda yang sudah melek teknologi informasi modern. Mustinya kalau punya pasukan yang menggarap sosial media,” ujarnya.
Suko menambahkan, dari 43 persen pengakses internet di Indonesia, separuhnya adalah kalangan muda atau pemilih pemula. Para kandidat seharusnya mampu mengisi ruang-ruang media online dan sosmed seperti Twitter, Facebook, maupun Whatsapp dengan cepat. “Tapi ini hampir semua kandidat tidak punya pengelola media sosial yang professional.”
ARTIKA RACHMI FARMITA