TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi menilai kemarahan masyarakat atas ketidakpekaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam kasus Setya Novanto masih berlanjut. “Setelah MKD dianggap 'masuk angin', kampanye menolak pasangan calon yang diusung Partai Golkar dalam pilkada serentak menguat di media sosial,” ujarnya dalam keterangan rilis yang diterima Tempo, Selasa, 8 Desember 2015.
Penolakan pasangan calon tersebut, menurut Muradi, merupakan rangkaian kemarahan publik atas sikap sejumlah elite politik Golkar yang tidak kunjung bersikap. Golkar dan MKD dianggap lamban dan mencoba mencari celah untuk keluar dari tekanan publik. “Tidak ada upaya untuk melakukan langkah-langkah perbaikan guna meredakan kemarahan publik,” ucapnya.
Muradi mengatakan kampanye penolakan pasangan calon yang diusung Golkar tidak boleh dianggap remeh. Terlebih di daerah yang menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah serentak yang tingkat melek media dan Internet-nya tinggi. Sebab, ujar Muradi, hampir dipastikan hal itu akan mengubah konstelasi dan pemenang perhelatan kontrak politik lima tahunan itu.
Penggunaan jejaring sosial, menurut Muradi, justru akan menyasar dua strata pemilih, yaitu pemilih pemula dan berbasis kelas menengah, baik secara ekonomi maupun politik. Dua strata pemilih itulah yang dikenal tingkat melek media dan informasinya tinggi. Jika dua strata pemilih tersebut tidak mendapatkan pasangan calon alternatif di luar yang diusung Golkar, hal itu akan berdampak buruk. “Kemungkinan besar akan memilih menjadi golput,” tuturnya.
Muradi menilai penting bagi Golkar untuk tidak menganggap remeh kampanye penolakan tersebut karena bisa menjadi titik lemah bagi proses pemenangan. Apalagi jika banyak partai lain memanfaatkan celah tersebut untuk menjatuhkan pasangan calon dari Golkar dengan memanfaatkan kasus Ketua DPR Setya Novanto.
DANANG FIRMANTO