TEMPO.CO, Jakarta - Empat dari Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi mengajukan disenting atau berbeda pendapat dalam putusan uji materi Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dalam perkara nomor 105/PUU-XIII/2015. Keempat hakim yaitu Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo sepakat perlu adanya aturan batas jumlah dukungan maksimal dari gabungan partai yang mengajukan pasangan calon.
"Kalau tak ada batasan maksimal atau paling banyak 60 persen, akan terjadi praktik liberalisasi yaitu borongan dukungan untuk satu pasangan saja," kata Patrialis di persidangan, Rabu, 11 November 2015.
Pasal 40 ayat (1) dan (4) berisi ketentuan, partai politik atau gabungan partai dapat mengajukan calon jika memiliki minimal 20 persen jumlah kursi atau 25 persen akumulasi suara pemilihan legislatif daerah tersebut. Pemohon, Doni Istyanto Hari Mahdi meminta MK menambahkan frasa 'paling banyak 60 persen jumlah kursi atau perolehan suara' sehingga tak terjadi monopoli pencalonan dan fenomena calon tunggal.
Menurut Patrialis, pemberian batas maksimal juga melindungi hak untuk dipilih bagi calon yang maju melalui jalur perorangan atau independen. Calon tersebut dapat berkompetisi karena secara matematis masih memiliki ruang dan harapan merebut jatah 40 persen suara yang tersisa.
"Secara otomatis, meningkatkan minat dan semangat ikut serta dalam pemilihan kepala daerah yang fair," kata dia.
Toh, keempat hakim ini harus menerima kekalahan jumlah suara karena lima hakim lainnya sepakat menolak uji materi Doni. Kelima hakim yaitu Arief Hidayat, Maria Farida Indarti, Aswanto, Manahan Sitompul dan I Dewa Gede Palguna berpendapat, Pasal 40 ayat (1) dan (4) yang tak diskriminatif dan melanggar konstitusi. Pasal tersebut justru menjamin persamaan kesempatan bagi setiap partai mengajukan calon.
"Seandainya diberi batas maksimal pun belum tentu akan mempengaruhi suara rakyat memilih pasangan calon," kata Manahan Sitompul.
FRANSISCO ROSARIANS