TEMPO.CO, Jakarta - Survey pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang dilakukan oleh Charta Politika Indonesia menunjukkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok- Djarot Syaiful Hidayat unggul dalam pemilihan putaran kedua.
“Pasangan inkumben itu mendapat 47,3 persen suara, sedangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno mendapat 44,8 persen suara, dan 7,9 persen tidak menjawab,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, Sabtu, 15 April 2017.
Baca juga: Survei 5 Lembaga Vs Quick Count atau Hitung Cepat, Siapa Menang?
Trend peningkatan bagi pasangan Ahok-Djarot, kata Yunarto, sejak November 2016. Dari 31,1 persen pada November 2016, naik 34,7 persen pada Januari 2017. Selanjutnya naik lagi 41 persen di Februari 2017.
“Adapun pasangan Anies-Sandi, trend elektabilitasnya cenderung stagnan,” ujar Yunarto. Pada November 2016, elektabilitas Anies-Sandi 40,7 persen. Kemudian meningkat pada Januari 2017. Namun pada Februari, elektabilitas Anies-Sandi malah turun jadi 44,5 persen.
Menurut Yunarto, ada tiga hal yang mempengaruhi peningkatan suara Ahok-Djarot. Pertama adalah sentimen sidang penistaan agama yang dijalani Ahok. "Pada putaran pertama, saksi dalam sidang berasal dari pelapor. Masyarakat hanya mendapat informasi satu arah. Sedang pada putaran kedua, sudah masuk tahapan yang meringankan Ahok," kata Yunarto.
Baca: Debat Pilkada DKI, Pangi: Pasangan Ini Paling Banyak Ambil Untung
Yuanrto mengatakan, kasus penistaan agama ini menjadi isu yang sangat berpengaruh dalam pilkada DKI. Kedua, nilai poisitif yang didapatkan Ahok adalah dengan masuknya gerbong partai Islam dalam koalisi pasangan nomor urut dua ini.
Masuknya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kata Yunarto, secara tidak langsung memberikan wajah baru dalam kubu pemilih Ahok-Djarot. "Kedua partai itu membuat isu nasionalis versus agama otomatis cair dengan sendirinya," kata Yunarto.
Ketiga, Ahok-Djarot mendapat nilai tambah dari debat kandidat. Dalam setiap debat, kata Yunarto, mayoritas responden selalu memihak pada pasangan ini. "Naiknya elektabilitas Ahok-Djarot mengambil suara Agus dalam debat," ujar Yunarto.
Stagnannya elektabilitas Anies-Sandi, Yunarto menambahkan, disebabkan tak banyaknya sentimen positif yang mereka dapatkan. Saat putaran pertama, elektabilitas Anies-Sandi meningkat pasca kunjungan ke sarang FPI di Petamburan.
Saat itu, kampanye Anies-Sandi yang memakai peci juga memperkuat elektabilitas, karena mayoritas pemilih adalah muslim. Di putaran kedua, sentimen positif seperti di putaran pertama itu tak didapatkan pasangan nomor urut tiga ini. "Bahkan ada sentimen negatif," kata Yunarto.
Yunarto menyebut, apa yang terjadi dengan Front Pembela Islam dan Rizieq Syihab belakangan turut mempengaruhi suara Anies-Sandi. Sebab, kata Yunarto, sejak awal tujuan Anies-Sandi mendekati FPI dipandang untuk memperkuat dukungan. "Di putaran kedua ini membebani," ujar Yunarto.
Anies-Sandi memang mendapat dukungan dari Partai Amanat Nasional yang menjadi representasi pendukung dari Muhammadiyah. Namun partai ini masih kalah kuat dengan gabungan PPP dan PKB yang mendukung Ahok-Djarot.
"Kalau tidak ada certeris paribus yang signifikan hingga 19 April, Ahok-Djarot tidak dapat ditahan," kata Yunarto. Namun siapapun pemenangnya, Yunarto memastikan perolehan suaranya tak akan jauh dari angka 3 atau 4 persen.
Baca juga: Lingkaran Survei Prediksi Anies-Sandi Menang karena 4 Faktor Ini
Yunarto mengatakan, pengumpulan data dilakukan pada 7-12 April 2017 melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 782 responden dari 1.000 yang direncanakan. Responden tersebar di lima kota administrasi yakni Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Survey dilakukan dengan metode acak bertingkat dengan margin of error 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
MAYA AYU PUSPITASARI