TEMPO.CO, Jakarta – Perang di media sosial dalam putaran kedua kampanye pemilihan kepala daerah DKI Jakarta terus terjadi. Tiap simpatisan kedua pasangan calon saling serang ke kubu lawan. Namun tim sukses Ahok-Djarot ataupun Anies-Sandi mengaku tak tahu sumber dari serangan-serangan kampanye hitam di media sosial. Kedua tim sukses mengaku melakukan kampanye di media sosial dengan konten positif.
Warga dunia maya atau netizen selama pilkada DKI putaran kedua ini terbelah menjadi dua kubu. Tak jarang muncul istilah-istilah yang saling menyudutkan bagi tiap pasangan calon. Misalnya, sebutan “bani taplak” untuk kubu pendukung Ahok-Djarot dan “sumbu pendek” untuk kubu Anies-Sandi.
“Ya kami tidak ingin menebak-nebak. Kami fokus ke program saja,” ujar anggota tim sukses Anies-Sandi, Musa, dalam acara diskusi yang diselenggarakan Universitas Prof. Dr. Moestopo, Kamis, 23 Maret 2017.
Musa menjelaskan, selama ini pihaknya menggunakan media sosial untuk mengabarkan program kerja Anies-Sandi. Sebagai contoh, Musa menjelaskan, dia menggunakan media sosial untuk menulis tentang program O-Care.
Sama halnya dengan Musa, tim sukses inkumben pun tidak mengetahui siapa pelaku kampanye hitam di media sosial.
”Kami berposisi tidak menyalahkan siapa-siapa,” kata anggota tim sukses Ahok-Djarot, Hariyadi, dalam kesempatan yang sama, di Bakoel Koffie Cafe, Cikini, Jakarta Pusat.
Program yang dilakukannya adalah menerjunkan relawan ke lapangan untuk mengetahui fakta. Hariyadi menjelaskan, relawan diajak mendatangi salah satu RPTRA yang dibuat Ahok, kemudian meminta mereka menuliskan pengalamannya. Bukan hanya menulis, mereka juga disarankan agar mengunggah foto sebagai bukti.
Hal ini diakui Hariyadi sebagai bentuk kampanye positif sekaligus klarifikasi atas opini-opini yang menyudutkan Ahok-Djarot.
Dalam diskusi tersebut, pengamat komunikasi politik, Effendi Gazali, mengatakan bisa saja keduanya tidak melakukan kampanye hitam. Namun ada netizen yang di luar kendali mereka menuliskan kata-kata yang cenderung menyerang. Effendi juga menegaskan perlunya literasi media untuk para netizen supaya memiliki etika dalam menuliskan opini.
BENEDICTA ALVINTA | JH