TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai ada sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta pada putaran kedua pilkada. "Mendorong simpatisannya untuk membereskan administrasi agar bisa memilih pada putaran kedua," kata Sebastian di kantor Formappi, Jakarta Timur, Kamis, 2 Maret 2017.
Sebastian mengatakan, ada sekitar 22 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Angka itu, menurut dia, bukan suara yang sedikit. Ia menilai, 22 persen pemilih yang golput disebabkan karena masalah administrasi. Sebabnya, penduduk DKI merupakan salah satu penduduk dengan tingkat perpindahan paling tinggi. "Misal KTP Jakarta Barat bisa tinggal di Jakarta Timur. Itu jadi salah satu persoalan," katanya.
Sebastian juga menduga, 22 persen dari 75 persen yang menggunakan hak pilihnya merupakan orang-orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Sehingga, bila melihat karakter pemilih yang cerdas, Sebastian menyarankan pada pasangan calon untuk menggunakan pendekatan yang rasional.
"Kalau ada debat putaran dua, maka debat akan sangat memengaruhi 22 persen. Siapa memiliki kemampuan merumuskan visi dan program realitis dan rasional diterima pemilih dan akan mempengaruhi 22 persen," ujar dia.
Selain itu, Sebastian juga melihat bahwa sekitar 16 persen pemilih merupakan kalangan dengan tingkat pendidikan sekolah dasar. Namun, ia belum mengetahui pasti apakah 16 persen pemilih itu merupakan pendukung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang gagal masuk putaran kedua.
Jika 16 persen pemilih dengan pendidikan SD ke bawah itu mayoritas pendukung Agus-Sylvi, Sebastian mengatakan akan berpengaruh pada strategi pendekatan yang harus dilakukan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi.
Kelompok 16 persen, dia menjelaskan, merupakan pemilih yang mudah dimainkan isu agama dan pragmatis, misal money politic. Tapi, bila mencermati program inkumben, kata dia, orang yang dapat keuntungan secara langsung dari program itu menyasar pada kelompok 16 persen.
Sehingga, menurut Sebastian, penting bagi Ahok-Djarot untuk mengingatkan memori kelompok 16 persen itu akan pelayanan dari program DKI yang sudah mereka terima. "Sebaliknya Anies-Sandi bisa tidak memberi jaminan yang kurang lebih sama atau lebih baik. Hanya bedanya, satu memberi janji, satu mengingatkan kembali memori bahwa sudah memberi," kata Sebastian.
FRISKI RIANA