TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigap) Muhammad Joni Yulianto mendorong para penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilihnya dalam pilkada serentak, Rabu, 15 Februari 2017. Ia menilai pilkada serentak menjadi momentum bagi para penyandang disabilitas untuk mencari calon kepala daerah yang bisa mewakili visi misi dan aspirasi perubahan yang diinginkan. Misalnya harapan soal aksesibilitas hingga pendidikan yang lebih terbuka dan inklusif bagi para penyandang disabilitas.
“Kami imbau ke teman-teman justru untuk bukan sekadar memilih, melainkan jadi pemilih yang kritis,” kata Joni saat dihubungi Tempo, Selasa, 14 Februari 2017.
Menurut dia, para penyandang disabilitas harus mampu melihat calon-calon kepala daerah yang mampu membawa kepentingan bagi penyandang disabilitas.
Menurut Joni, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memberikan peraturan yang cukup akomodatif bagi para penyandang disabilitas dalam pemungutan suara. Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara Kepala Daerah menyebutkan penyandang disabilitas diberikan kemudahan dalam memberikan suaranya. Dalam peraturan itu ada jaminan pemilih penyandang disabilitas bisa memilih calon kepala daerah secara bebas dan rahasia. Bahkan mereka bisa didahulukan memilih dibanding pemilih yang lain.
Namun Joni mengatakan masih ada permasalahan yang kerap muncul saat pemungutan suara. Dalam peraturan KPU dijelaskan pemilih disabilitas boleh menentukan pendamping untuk membantu proses pemungutan suara atau menujuk petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk memberikan bantuan. “Si pemilih sering kali tidak ditanyakan sejauh mana dia memerlukan bantuan atau pendampingan,” kata dia.
Menurut Joni, biasanya petugas KPPS langsung mendampingi pemilih disabilitas. Padahal pemilih disabilitas berhak menentukan pendamping yang dinilai dapat dipercaya. Ia menilai petugas seharusnya menanyakan kepada pemilih sejauh mana dia memerlukan bantuan. Bisa jadi pemilih bisa mencoblos sendiri surat suaranya. Kalau memang pendamping yang ada hanya dari petugas maka harus dipastikan mampu menjaga kerahasiaan pilihan pemilih.
Joni menceritakan pada pemilu presiden 2014 masih ditemukan beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan petugas KPPS. Modusnya mereka mendampingi pemilih disabilitas tapi kemudian pilihan pemilih diarahkan oleh pendamping tersebut. “Itu pidana lho ketentuannya, kalau melanggar kerahasiaan,” kata dia.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Hadar Nafis Gumay mengatakan para penyandang disabilitas bisa menentukan pendamping sendiri dalam melaksanakan pemungutan suara. Di samping itu, memang ada petugas dari KPPS yang ditugaskan untuk membantu pemilih apabila tidak ada pendamping yang ditentukan oleh pemilih disabilitas. “Undang-undang juga sudah mengatur,” kata dia.
Data KPU pada pekan pertama Februari 2017 menunjukkan total daftar pemilih tetap (DPT) pada pilkada serentak tahun ini tercatat sebanyak 41.200.187 pemilih. Dari jumlah itu, ada sebanyak 50.063 pemilih disabilitas yang terdiri atas 18.190 tuna daksa, 8.132 tuna netra, 9.108 tuna rungu, 8.751 tuna grahita, dan 5.882 penyandang disabilitas lainnya.
Menurut Hadar, jumlah pemilih penyandang disabilitas tersebut bisa lebih banyak dari data yang tercatat sejauh ini. Ia menyadari tidak mudah mengumpulkan informasi para penyadang disabilitas yang masuk kategori pemilih. Ada pula masyarakat yang tidak ingin menyampaikan bahwa keluarganya ada yang penyandang disabilitas. “Jadi sekarang baru berhasil mencatat seperti itu, ke depan kami akan tingkatkan. Saya yakin angkanya sebenarnya lebih tinggi,” kata Hadar.
DANANG FIRMANTO