TEMPO.CO, Jakarta - Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, menilai jawaban pasangan calon nomor satu tentang cara membangun rumah rakyat di lahan seluas 390 hektare tanpa relokasi dalam debat kandidat masih belum jelas. "Ngambang banget kalau menurut saya. Yang konkret, ya bagaimana caranya kalau dia katakan ada 390 hektare. Lah ini di mana," kata Djarot di Cikini, Jakarta Pusat, Senin, 30 Januari 2017.
Djarot pun mempertanyakan lokasi lahan seluas 390 hektare itu. Ia menebak lahan tersebut berada di bantaran sungai lantaran pasangan calon nomor satu itu menjanjikan nol penggusuran. Jika benar, Djarot menilai hal itu malah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 38 tentang sungai. Sebab, selama ini, pihaknya melakukan relokasi di bantaran sungai berdasarkan aturan tersebut. "Kami ini melaksanakan, setuju dengan PP itu, mendukung yang dikeluarkan Pak SBY yang notabene bapaknya Pak Agus," ujar Djarot.
Menurut Djarot, tidak mungkin membangun permukiman di sepanjang bantaran sungai bila ingin melakukan normalisasi. Karena itu, ia meminta lawan politiknya memberikan pemahaman yang masuk akal dan rasional agar bisa diterapkan dan bukan sekadar wacana. Adapun Djarot bersama pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, menawarkan relokasi ke rumah susun.
Sementara itu, Djarot enggan menilai data-data yang ditunjukkan para lawannya dalam debat. Ia lebih percaya terhadap kepuasan warga Jakarta yang sudah merasakan perubahan besar terkait dengan reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan pemerintahan yang bersih.
Sebab, ia banyak menemukan sebagian besar masyarakat berpendapat Jakarta sudah mulai berubah dan punya harapan yang bagus ke depan, seperti sistem pelayanan publik, penganggaran yang menggunakan e-Government, sistem transportasi pembangunan, serta pengelolaan sungai dan taman-taman.
Meski begitu, ia dan Ahok menyadari semuanya butuh proses. Pembangunan Jakarta, kata dia, tidak cukup dilakukan hanya lima atau sepuluh tahun. Namun harus menjadi satu garis haluan Jakarta yang konsisten. Umumnya, lanjut dia, yang kerap terjadi jika ganti pemimpin adalah berganti kebijakan. "Dia mau baru lagi, padahal kalau menurut kami sekarang ini kalau kami lihat Jakarta on the track gitu lho, jangan balik lagi," kata dia.
FRISKI RIANA