TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) kembali menemui pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka meminta Dewan menegur Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu untuk membatalkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon Gubernur DKI Jakarta.
"Bicara konteks hukum, juga bicara Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah," kata pengacara Eggy Sudjana yang ikut dalam rombongan GNPF-MUI di ruang pimpinan DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 17 November 2016.
Eggy menegaskan, hal ini tidak ada hubungannya dengan Pilkada DKI. Namun, bila Basuki alias Ahok dibatalkan pencalonannya, ini merupakan konsekuensi dari penistaan agama yang ia lakukan. "Jadi ini konteks penegakan hukum, gak menyerempet ke Pilkada," ujarnya.
Menurut Eggy, DPR harus memanggil KPU dan Bawaslu karena tidak mencopot Ahok. Alasannya, kata dia, Ahok telah melanggar Pasal 71 ayat 3 UU Pilkada.
Pasal itu berbunyi "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih."
Eggy beralasan dalam kurun waktu enam bulan sebelum 24 Oktober 2016-tanggal saat penetapan calon-Ahok tetap melanjutkan reklamasi, melakukan penggusuran dan melakukan penistaan agama. "Jadi, dia masuk kategori yang telah dilarang UU," tuturnya.
Maka, sanksinya merujuk pasal 71 ayat 5 yaitu pembatalan sebagai calon Pilkada oleh KPUD DKI Jakarta.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, argumentasi dari Eggi harus didalami dan ditindaklanjuti. "Sudah seharusnya KPUD dan Bawaslu lakukan perintah UU," tuturnya.
AHMAD FAIZ