TEMPO.CO, Yogyakarta - Dua pasang calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Yogyakarta mengomentari maraknya kasus intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta ketika mereka berkampanye dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017.
Calon wali kota dan wakilnya, Imam Priyono dan Achmad Fadli, ketika ditanya di sela kampanyenya di Gondomanan, berjanji mengatasi persoalan intoleransi melalui proses hukum dan aturan yang ada. “Semua orang punya hak yang sama di mata hukum,” kata Imam, Sabtu sore, 5 November 2016.
Dia mengatakan riset dari sejumlah lembaga yang menunjukkan maraknya intoleransi di Yogyakarta tidak bisa dilihat sepotong. Ia meyakini Yogyakarta masih punya semangat menjaga kota yang punya julukan City of Tolerance itu.
Dalam kampanyenya, pasangan nomor urut satu itu mendatangi Kampung Sayidan, Kelurahan Gondomanan, Yogyakarta. Pasangan ini mengusung tema merawat kebhinekaan. Yogyakarta, menurut mereka, menjadi miniatur Indonesia sehingga warga Yogyakarta wajib merawat kebhinekaan sebagai dasar kehidupan berbangsa.
Di Kota Yogyakarta, menurut Imam, berkumpul berbagai macam suku bangsa dari Sabang hingga Merauke dengan berbagai macam adat istiadat dan agama. Mereka memilih Gondomanan sebagai tempat kampanye karena di sana berdiri Gereja Kidul Loji, Masjid Agung Kauman, dan Klenteng.
Di Gondomanan ada juga Kampung Kauman, Kampung Ketandan, dan Kampung Prawirodirjan yang mewakili entitas masing-masing. Selama ini penduduk kampung itu hidup rukun, damai, dan saling menghargai. “Kami berkomitmen untuk menjaganya,” kata Imam.
Pada hari berbeda, Jumat, 4 November 2016, calon wali kota dan wakilnya, Haryadi Suyuti dan Heru Purwadi, juga mendatangi Kelurahan Gondomanan untuk berkampanye. Namun, mereka kampanye dengan tema yang berbeda, yakni penataan Kali Code. Ketika ditanya ihwal maraknya intoleransi di Yogyakarta, calon Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heru Purwadi, mengatakan sejumlah kasus intoleransi itu tidak terjadi di Kota Yogyakarta, melainkan di kabupaten lain di DIY.
Heru menyatakan telah bertemu untuk komunikasi dengan kelompok masyarakat yang dituding intoleran atau berseberangan. Menurut dia, komunikasi berlangsung cair dan semua pihak berusaha memahami persoalan perbedaan pendapat. “Segala sesuatu yang sensitif bisa didialogkan,” kata Heru.
The Wahid Institute mencatat kasus intoleransi di Yogyakarta terjadi sejak 2012. Lembaga itu menempatkan Yogyakarta di urutan kedua dalam kasus intoleransi pada 2014. Terjadi 21 kasus intoleransi. Peringkat pertama adalah Jawa Barat dengan 25 kasus. Sedangkan, Setara Institute mencatat sepuluh kasus intoleransi di Yogyakarta. Sedangkan, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) mencatat ada 13 kasus intoleransi di Yogyakarta pada 2015.
ANBTI menyebut Yogyakarta semakin kehilangan semangat toleransi. Maraknya kasus penutupan rumah ibadah menjadi catatan buruk pelanggaran hak beribadah di daerah ini. Contoh kasusnya di antaranya penutupan tempat ibadah, pelarangan aktivitas ibadah, tidak dikeluarkannya izin mendirikan tempat ibadah, dan larangan melakukan diskusi di kampus di Sleman.
Di Kota Yogyakarta juga terjadi pelarangan diskusi pemutaran film Pulau Buru di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Kelompok intoleran pada 2016 kerap melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap kegiatan diskusi tentang Syiah, tragedi 1965, dan diskusi lintas agama. Dari total kasus intoleransi, yang paling banyak adalah pemerintah tidak memberi izin pendirian rumah ibadah. Tidak adanya izin ini terjadi akibat desakan kelompok intoleran.
SHINTA MAHARANI
Baca juga:
Komikus Gundala Putera Petir Tutup Usia
Blusukan Djarot Batal karena Ada Penolakan dan Mobilisasi
Polri Buka Gelar Perkara Kasus Ahok, Pengamat Hukum: Bahaya