TEMPO.CO, Semarang - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kini punya kewengan yang sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani praktek politik uang dalam pemilihan kepala daerah yang digelar serentak pada 2017. Anggota Bawaslu RI Nasrullah menyatakan saat ini Bawaslu punya peran, mulai dari pengawasan, penyidikan, penuntutan hingga peran mengadili.
“Jika ada praktik politik uang maka tak ada alasan tak ditindak Bawaslu,” kata Nasrullah dalam seminar di FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Selasa 20 September 2016.
Dia menjelaskan, lembaga Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) sudah dibentuk dengan model kerja satu atap yang berisi lembaga Panwaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. “Bahkan Bawaslu saat ini juga menjadi lembaga semi peradilan,” ujar Narsullah.
Dia mengakui, Bawaslu tak bisa menindak praktik politik uang dalam pilkada serentak pada 2015. “Saat itu dalam undang-undang memang tak ada aturan mainnya,” ujarnya. Padahal, kata dia, saat itu banyak laporan dan temuan politik uang. Undang-undang melarang praktik politik uang, tapi sanksi hukumannya tidak ada. “Kalau sekarang sudah ada sanksi hukumannya.”
Kini undang-undang menyebutkan, sanksi hukuman politik uang itu ada dua jenis, yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi bisa berupa diskualifikasi. Adapun sanksi pidana akan diproses hukum di pengadilan. “Yang menarik, untuk menentukan sanksi administrasi pelaku politik uang itu tak perlu menunggu proses pidana,” kata dia.
Sebelumnya, praktek politik uang dalam pilkada selalu kandas di tengah jalan. Misalnya di Klaten, Jawa Tengah, pada pilkada 2015 Panwas tidak meneruskan kasus politik uang meski sudah memiliki bukti berupa 25 amplop berisi uang Rp 20 ribu dengan gambar tempel pasangan calon bupati dan wakil bupati Klaten nomor urut tiga, Sri Hartini - Sri Mulyani.
Bahkan ketua Panwas Klaten, Jawa Tengah, Wandyo Supriyatno, merasa laporan dugaan politik uang itu mempersulit dirinya. “Laporan itu setengah hati. Kesannya justru mempersulit saya,” kata Ketua Panwaslu Klaten, Wandyo Supriyatno, pada Desember 2015. Dia berkilah, laporan itu tak menyertakan pelaku. Kasus itu pun tak dibawa ke Gakkumdu.
ROFIUDDIN