TEMPO.CO, Makassar - Badan Pengawas Pemilihan Umum Sulawesi Selatan mencatat ada 399 kasus pelanggaran selama masa pemilihan kepala daerah serentak yang dilakukan pada 9 Desember 2015 lalu.
Pelanggaran ini terjadi di 11 kabupaten. Komisioner Bidang Hukum dan Penindakan, Azry Yusuf, mengatakan jumlah itu direkapitulasi dari masing-masing kabupaten sejak awal tahapan pilkada sampai penetapan pemenang pada pekan lalu.
"Sebanyak 124 di antaranya laporan dari warga, sedangkan 254 lainnya temuan Panwas Kabupaten," kata Azry dalam rapat koordinasi Bawaslu di Makassar, Senin, 28 Desember.
Azry memastikan, semua kasus telah ditindaklanjuti hingga tuntas sesuai dengan peraturan yang berlaku. "Namun ada 104 kasus yang diberhentikan karena tidak terbukti," ujarnya.
Dari semua kasus dugaan pelanggaran pada pilkada serentak di Sulawesi Selatan, masalah administrasi mendominasi dengan jumlah 212. Kasus lainnya beragam, mulai pelanggaran kode etik penyelenggara, pidana pemilihan, sengketa, politik uang, hingga penggunaan hak pilih orang lain.
Azry mengungkapkan pihaknya juga menemukan dugaan dua kasus keterlibatan aparat pegawai negeri sipil dalam politik praktis. Namun hal itu sudah dialihkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara untuk diselesaikan secara internal.
Bawaslu, kata Azry, menganggap pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu sebagai bentuk pelanggaran paling berat, meski dugaan pelanggaran jenis itu tidak dominan, yakni hanya sembilan kasus.
Dugaan pelanggaran ini ditemukan, antara lain di Bulukumba (tiga kasus), Selayar (tiga kasus), serta di Maros, Tana Toraja, dan Luwu Utara (masing-masing satu kasus).
"Tujuh di antaranya sudah diputuskan, ada petugas yang diberhentikan. Dua lainnya sementara masih berproses," ujarnya.
Azry memastikan Panwaslu di kabupaten tidak sendirian dalam mengungkap dugaan pelanggaran pilkada. Mereka bekerja sama dengan polisi dan jaksa lewat Sentra Penegakan Hukum Terpadu.
Dia mencontohkan 104 kasus yang diproses lewat jalur pidana umum di kepolisian. "Misalnya politik uang dan ujaran kebencian yang berbau kampanye negatif," katanya.
Ketua Bawaslu Sulsel La Ode Arumahi mengungkapkan pihaknya sejak jauh hari telah memetakan potensi kecurangan dan pelanggaran pilkada. Pemetaan berdasarkan indeks kerawanan pemilu yang dikeluarkan Bawaslu RI sejak Oktober.
Namun, dalam bertugas, pengawas tidak melulu mengikuti data tersebut. Sebab, semua daerah pada dasarnya dianggap rawan.
La Ode menyebutkan Bawaslu menentukan lima tolok ukur dalam mengawasi pelaksanaan pilkada, di antaranya kerawanan penyalahgunaan logistik, pelanggaran daftar pemilih, praktek politik uang, keterlibatan penyelenggara negara, serta kesalahan prosedur pemungutan suara.
Menurut dia, kesalahan prosedur atau administratif merupakan kerawanan yang paling potensial. "Di mana petugas keliru menerapkan peraturan yang berdampak pada hasil pemungutan suara."
AAN PRANATA