TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan pemerintah telah salah kaprah memahami putusan Mahkamah Konstitusi tentang pelaksanaan pemilihan umum secara serentak. Sebagai pemohon gugatan, menurut dia, MK memerintahkan pelaksanaan pemilihan umum serentak bukan secara administrasi seperti yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum dalam pemilihan kepala daerah serentak 2015.
"Serentak artinya pemilihan eksekutif dan legislatif dilakukan bersamaan, bukan justru seluruh pilkada daerah diadakan bareng," kata Hamdi saat dihubungi, Rabu, 9 Desember 2015. "Agar terjadi coattail effect, eksekutif yang terpilih disokong kekuatan di legislatif."
Pilkada serentak saat ini, menurut Hamdi, sama sekali tak menciptakan coattail effect karena pemilihan kepala daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai legislatif tetap berbeda. Hal ini sekaligus membantah klaim pemerintah pelaksanaan pilkada serentak lebih hemat. Pasalnya, suatu daerah tetap harus menggelontorkan dana ganda akibat dua pelaksanaan pemilihan yaitu pilkada dan pemilihan legislatif.
Menurut Hamdi, semangat yang dibangun dari uji materi dengan putusan pilkada serentak adalah menciptakan pemerintahan yang lebih kuat dan solid. Para pemohon ingin politik pemerintahan lebih stabil karena eksekutif dapat ditopang kekuatan di legislatif.
"Praktek serentak saat ini menyalahi seluruh konsep akademis tentang pemilihan," katanya.
Toh, Hamdi mengatakan pelaksanaan putusan MK secara ideal berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang memungkinkan seluruh pemilihan diadakan secara bersamaan. Proses tersebut akan memakan waktu yang lebih panjang. Hal sederhana yang mungkin bisa mendekati konsep serentak versi MK adalah pelaksanaan pilkada seluruh eksekutif di suatu provinsi secara bersamaan.
"Jadi, bisa dimulai dengan pemilihan gubernur hingga bupati dan wali kota dilakukan bersamaan," kata Hamdi. "Saat ini, ada daerah yang pilkada provinsi dan kabupatennya berbeda dua tahun. Artinya tetap ada dua kali pelaksanaan pemilihan."
FRANSISCO ROSARIANS