TEMPO.CO, Jakarta – Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Masdar Farid Mas’udi mengatakan pemahaman pemimpin yang terpenting bagi Islam adalah adil, bisa melindungi warganya, dan memenuhi hak setiap warganya. “Allah bahkan menolong negara dan pemimpin yang adil meski dia kafir. Keadilan inti dari acuan kenegaraan,” kata Masdar saat bersaksi di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu, 29 Maret 2017.
Mengenai penafsiran Surat Al-Maidah ayat 51, yang melarang memilih pemimpin nonmuslim, Masdar mengatakan setiap orang tidak bisa memahami ayat tersebut secara terpisah. Sebab, kata dia, ada ayat lain di dalam Al-Quran sebagai pertimbangan, yakni Surat Al-Mumtahanah ayat 8.
”Allah tidak melarang kalian terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu atas landasan agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Tidak dilarang berbuat baik dan adil terhadap mereka,” ujarnya.
Dari penafsiran tersebut, Masdar menyatakan bahwa orang yang tidak mengusir umat Islam itu boleh diangkat sebagai wali atau pemimpin. Sedangkan orang nonmuslim yang menerangi dan mengusir muslim dari negerinya tidak boleh dijadikan pemimpin.
Karena itu, menurut Masdar, Surat Al-Maidah ayat 51 harus dibaca secara holistik bersamaan dengan ayat di Surat Al-Mumtahanah. Dia menuturkan, seseorang tidak boleh mengambil sebagian ayat lantas mengabaikan ayat lainnya. Dalam Islam, ujar dia, masalah kemasyarakatan harus diselesaikan dengan bermusyawarah sehingga tidak boleh memakai paksaan. “Semua masalah harus dibicarakan secara terbuka oleh stakeholder,” tuturnya.
Ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto menanyakan contoh pemilih muslim yang memilih pemimpin nonmuslim di luar Jakarta. Masdar menyebutkan bahwa itu kembali pada kedewasaan politik. Namun dia meminta semua pihak melihat contoh Wali Kota London muslim terpilih. “Dia justru muslim di tengah-tengah orang nonmuslim. Itu kedewasaan politik. Bersepakat dan mengacu pada prinsip bahwa pemimpin itu adil dan tidak diskriminasi,” katanya.
FRISKI RIANA