TEMPO.CO, Marabahan - Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Khairiadi Asa, menemukan aneka modus politik uang menjelang pemilihan kepala daerah pada 15 Februari mendatang. Pilkada Barito Kuala diikuti tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati yang terdiri atas Noormiliyani A.S.-Rahmadian Noor; Bahrian Noor-Suwandi; dan Hasan Ismail-Fahrin Nizar.
Menurut Khairiadi, tiga paslon itu memakai modus berlainan untuk mendekati calon pemilih. Namun pihaknya kesulitan membuktikan dugaan politik uang karena ketiadaan saksi yang mau melapor ke panitia pengawas pemilu setempat. “Kalau dapat uang, kebanyakan ya diambil uangnya,” kata Khairiadi Asa kepada Tempo, Kamis, 9 Februari 2017.
Modus politik uang yang ia temukan antara lain pembagian duit yang dibayarkan dua hari setelah para pendukung salah satu paslon hadir ke dialog atau kampanye. Pembayaran ongkos bensin dalam jeda waktu dua hari untuk mengaburkan kesan ada politik uang di lokasi acara. Selain itu, Khairiadi memergoki langsung salah satu tim sukses pasangan calon sempat mendatanginya dengan dalih meminta tolong mencarikan sepuluh saksi.
Baca: Kampanye tanpa Pemberitahuan, Ahok Diprotes Panwascam Cakung
Khairiadi kebetulan menjabat ketua RT di tempat tinggalnya. Sepuluh saksi akan ditempatkan di setiap tempat pemungutan suara (TPS). Ia pun curiga karena penempatan saksi setiap paslon cukup dua orang per TPS. Tim sukses salah satu paslon akan membatalkan calon saksi bila gagal menghimpun KTP pemilik suara.
Ia menduga sejatinya pemilik hak suara dibidik untuk kemudian diguyur duit menjelang pencoblosan. “Mereka datangi ketua-ketua RT, ngapain cari saksi sampai sepulu orang? Sepuluh saksi ini juga harus mengumpulkan KTP warga yang punya hak pilih dan dijanjikan imbalan Rp 125 ribu per saksi,” ia melanjutkan.
Simak pula: Aksi 112, Mulai dari Sholat Subuh Hingga Tausiah
Adapun modus politik uang terakhir adalah menggaji orang untuk menghimpun kartu keluarga (KK). Lewat penelusuran KK, kata dia, tim sukses paslon bisa melacak berapa jiwa pemilik hak suara dalam satu keluarga. Pola semacam ini biasanya bertujuan menghitung berapa banyak fulus yang mesti digelontorkan demi meraup suara pemilih.
“Masyarakat di Barito Kuala ini kan pemilih yang masih tradisional, jadi uang masih menentukan. Ada juga bagi-bagi sembako, ini sebenarnya menjurus politik uang,” kata bekas wartawan itu.
Di luar urusan politik uang, ia menjamin semua logistik pilkada sudah terdistribusi merata ke 17 kecamatan atau panitia pemilihan kecamatan. Tiga hari sebelum pencoblosan, Khairiadi menargetkan logistik pilkada sudah tiba di tingkat desa dan diteruskan ke TPS sehari sebelum pencoblosan. “Hari ini pengiriman logistik terakhir ke kecamatan.”
DIANANTA P. SUMEDI