TEMPO.CO, Jakarta – Jajak pendapat yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia menyimpulkan, sebagian besar responden menginginkan DKI Jakarta memiliki gubernur baru. Responden yang diwawancarai adalah warga Jakarta yang memiliki hak pilih.
”Ada 60,3 persen responden yang ingin gubernur baru, sementara yang ingin tetap gubernur lama ada 22,1 persen, dan sisanya tidak menjawab,” kata peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Adjie Alfaraby, kepada pers di Jakarta, Rabu, 14 Desember 2016.
Adjie menjelaskan, dari hasil sigi itu, ada dua hal yang bisa ditangkap. Pertama, adanya kecenderungan resistensi terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta inkumben, yaitu Basuki Purnama dan Djarot Saiful.
Kedua, adanya keinginan yang kuat dari publik untuk perubahan kepemimpinan di DKI.
Adapun pasangan Basuki-Djarot maju kembali dalam pilkada 2017. Pesaingnya adalah pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Agus Harimurti-Sylviana Murni.
Adjie menjelaskan, pengumpulan data dilakukan sesudah Aksi Bela Islam Super Damai 212, yaitu pada 3–8 Desember 2016. Wawancara tatap muka terhadap 440 responden dilakukan dengan kuesioner. LSI menggunakan multistage random sampling dengan margin of error kurang-lebih 4,8 persen.
Menurut Adjie, ada tiga alasan yang menyebabkan sentimen publik atas gubernur baru meningkat. Pertama, kepuasan masyarakat ihwal empat kondisi kehidupannya di bawah angka 50 persen atau disebut rapor merah. Empat kondisi itu mencakup aspek politik, ekonomi, keamanan, dan hukum.
”Kondisi inilah yang kemudian memicu adanya keinginan secara psikologis untuk adanya perubahan,” ujar Adjie.
Kedua, mayoritas warga (68,5 persen) merasa tak nyaman dengan situasi pro dan kontra dugaan kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. “Ketiga, 65 persen responden tidak bersedia bila dipimpin gubernur dengan status tersangka.”
LANI DIANA | UWD