TEMPO.CO, Jakarta - Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, mengaku tidak keberatan dan menerima segala protes dan amarah dari masyarakat, yang mempersoalkan kasus dugaan penistaan agama oleh pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Kami dimarahi, kami terima. Demo protes kan marah-marah. DPR itu wakil rakyat, marah-marah juga tidak apa-apa, wong kami jongos (pelayan)," kata Djarot saat menghadiri pertemuan keluarga besar Djojodigdo, di Balai Sarwono, Jakarta Selatan, Sabtu, 3 Desember 2016.
Djarot menegaskan, dia dan Ahok merupakan pelayan masyarakat, bukan bos. Selama ini, kata dia, ada kekeliruan dalam memaknai pemimpin masyarakat. Djarot menuturkan, ketika masih menjadi Wali Kota Blitar, ia selalu menegaskan bahwa dia merupakan pelayan masyarakat yang bisa disuruh apa pun. Sehingga, dia bisa akrab dengan siapa pun. "Disuruh bersihkan sampah, angkat. Transportasi macet, kami bangun. Korupsi sikat semua," ujarnya.
Djarot mengharapkan bisa diberi kesempatan untuk menjadi seorang jongos di periode selanjutnya, jika dianggap sudah bekerja dengan baik. Sebab, bila tidak, maka masyarakat bisa memecatnya dengan tidak lagi memilihnya dalam pemilihan kepala daerah 2017. "Kami geregetan, sedikit saja selesai ini. Transport sudah bagus, banjir selesai. Mereka tidak mampu, sekolah dengan baik. Di kolong jembatan, kan bos-bos juga, kami pindahkan ke rumah susun," ucapnya.
Lebih lanjut, Djarot mengungkapkan dia ingin mengubah mental dari akar. Pemimpin, ujar dia, yang dulunya minta dilayani harus diubah bahwa pemimpin itu pelayannya masyarakat. Menurut dia, bila hal itu dapat diterapkan, cita-cita Bung Karno dapat terwujud. "Bentuk satu tatanan masyarakat adil, makmur, tentram, di bawah lindungan Tuhan Maha Esa," ujarnya.
FRISKI RIANA