TEMPO.CO, Banjarmasin - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mendorong masyarakat berperan aktif melaporkan segala bentuk pelanggaran, termasuk dugaan politik uang saat momentum pemilihan kepala daerah serentak (pilkada) 2017. Menurut dia, partisipasi aktif publik membuat penyelenggaraan pilkada lebih bermutu.
“Saya anjurkan mereka yang menerima money politic, terima saja uangnya. Tapi laporkan ke Bawaslu sebagai bukti suap,” kata Jimly setelah mengisi sosialisasi bertajuk Pengawasan Pilkada Partisipatif di Banjarmasin, Jumat, 25 November 2016.
Jimly mengingatkan, politik uang bisa berujung pidana dan menggugurkan pasangan calon pilkada jika penyelenggara menemukan bukti valid, bersifat masif, dan terstruktur. Menurut Jimly, penyelenggara agak kesulitan menjatuhkan sanksi bila praktek politik uang cuma di satu-dua TPS. “Kalau terstruktur pakai uang banyak, itu bisa didiskualifikasi walaupun kartu suara sudah dicetak,” ujar Jimly.
Itu sebabnya, Jimly berharap masyarakat ikut mensosialisasikan prosedur pemilihan. Selain itu, Jimly meminta aparatur sipil negara menjaga netralitas. Menurut dia, DKPP sudah memecat 390 orang penyelenggara pemilu selama periode empat tahun terakhir.
“Bisa karena disuap, pertemuan dengan paslon tertentu, dan manipulasi suara. Semua berujung pemecatan,” kata bekas Ketua Mahkamah Konstitusi itu. Selain sanksi pemecatan, ia sudah menjatuhkan teguran tertulis kepada ribuan orang penyelenggara pemilu yang ketahuan melanggar kode etik tapi dalam batas toleransi.
Jimly meminta masyarakat melaporkan lewat surat resmi kalau menemukan praktek culas. Dari ribuan laporan yang masuk DKPP, Jimly mengaku hanya separuhnya yang diproses oleh lembaga pengawas etik penyelenggara pemilu. "Tidak semua laporan ditindaklanjuti, melihat urgensinya,” kata Jimly.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Kalimantan Selatan Mahyuni mengakui rendahnya kesadaran masyarakat Kalimantan Selatan untuk melaporkan segala bentuk kecurangan. Ia berkaca dari temuan pelanggaran pemilu selama pileg dan pilpres 2014. Saat itu, kata Mahyuni, Bawaslu menemukan sekitar 14 ribu laporan dugaan kecurangan pemilu. “Yang laporan masyarakat tidak sampai satu persen,” kata Mahyuni.
Selanjutnya, Mahyuni menerima 200-an laporan pelanggaran saat pilkada 2015, 50 laporan di antaranya berasal dari masyarakat. Menurut dia, kesadaran rendah masyarakat dipicu kerepotan saat berurusan dengan hukum, regulasi yang membatasi waktu pelaporan, tingkat kepercayaan yang rendah terhadap penyelenggara, dan silang pendapat di antara penegak hukum.
Pihaknya pernah memproses laporan lima PNS yang kedapatan tidak netral saat pilkada serentak 2015. Namun, menurut Mahyuni, instansi terkait yang berwenang menjatuhkan sanksi kepada PNS tersebut. Selain PNS, Mahyuni menuturkan, “Satu komisioner KPUD Tapin dan tiga PNS di Pemkab Tapin dipecat. Jadi empat orang dipidana satu tahun penjara.”
DIANANTA P. SUMEDI