TEMPO.CO, Kediri - Kemenangan Haryanti dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Kediri pada Rabu 9 Desember 2015 lalu tak mengejutkan masyarakat setempat. Tingginya angka golput menunjukkan sikap masyarakat yang mulai apriori kepada dinasti politik Sutrisno-Haryanti.
Pengamat politik Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri Taufik Alamin menilai tak ada yang mengejutkan dari pelaksanaan pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 di Kabupaten Kediri. Jauh sebelum pemungutan suara dilakukan masyarakat sudah mengetahui kemenangan Haryanti atas lawannya Ari Purnomo Adi. “Pembacaan situasinya bukan hari ini (saat pemungutan suara) saja, tapi jauh sebelumnya,” kata Taufik kepada Tempo, Jumat 12 Desember 2015.
Kemenangan Haryanti disebabkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah parpol mayoritas di kabupaten ini. PDIP sukses menciptakan patron politik. Hal ini secara langsung memberangus potensi kemunculan figur lain di Kabupaten Kediri selain keluarga Haryanti.
Secara politik hal ini cukup mungkin dilakukan mengingat kekuatan parpol juga telah mereka kuasai, di mana posisi Ketua Dewan Pengurus Cabang PDIP Kabupaten Kediri dipegang oleh Sutrisno, suami Haryanti. Posisi ini strategis untuk menghadang bakal calon bupati yang mendaftar melalui partainya.
Dominasi keluarga Haryanti yang telah berkuasa di Kabupaten Kediri selama 15 tahun, di mana periode pemerintahan tahun 2000 – 2010 dipegang suaminya, memungkinkan keluarga ini mengendalikan seluruh kekuatan politik di Kediri, tak terkecuali penyelenggara pemilu. Situasi ini melahirkan proses pemilihan kepala daerah yang jauh dari suasana kompetitif, termasuk pasangan calon Ari Purnomo Adi– Arifin Tafsir yang banyak disebut sebagai calon boneka. Sampai 5 tahun kemudian, dinasti ini akan berkuasa, menyebabkan total 20 tahun Kediri akan dikuasai Sutrisno-Haryanti.
Keadaan stagnan inilah yang memicu sikap frustasi warga Kabupaten Kediri terhadap pelaksanaan pilkada. Hal ini tercermin dengan rendahnya tingkat partisipasi pemilih menggunakan hak suara mereka pada pemilihan kepala daerah serentak kemarin yang mencapai 43,7 persen atau hampir setengah dari daftar pemilih tetap versi hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia. “Ini menjadi catatan bagi pemerintahan Haryanti bahwa kemenangannya minim legitimasi,” kata Taufik.
Beberapa warga yang ditemui Tempo memiliki pespektif beragam soal kemenangan Haryanti-Masykuri. Haryanto, 38 tahun, warga Desa Gringging, Kabupaten Kediri memilih tak menghadiri undangan KPU untuk mencoblos. Menurut dia pemungutan suara tak akan mengubah situasi pemerintahan di Kediri. “Siapapun calonnya, bupatinya tetap Haryanti,” kata pemilik toko kelontong ini berseloroh.
Sementara seorang warga Desa Bendo, Kecamatan Pare, Kediri yang menggunakan hak pilihnya kemarin mengaku mencoblos Ari Purnomo Adi yang diusung Gerindra dan Partai Amanat Nasional. Meski mengaku tak mengenal Ari Purnomo, dia tetap memilih lantaran berharap ada perubahan situasi politik.
HARI TRI WASONO