TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI Cornelis meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), mewaspadai praktik politik uang secara terselubung dengan berbagai modus. "Praktik politik uang itu bisa dikemas melalui bantuan, bahkan modusnya membentuk saksi di tempat pemungutan suara (TPS) yang melebih dari jumlah ketentuan berlaku, kemudian mereka diberikan imbalan uang," kata Cornelis di Kabupaten Kapuas, Kamis 3 Desember 2020.
Untuk mewujudkan pilkada bebas dari politik uang, menurut Cornelis, perlu komitmen dari semua pihak, jangan sampai terjadi dan terkesan ada pembiaran. "Pengawas pemilu jangan ragu menindak," kata mantan Gubernur Kalimantan Barat ini.
Cornelis menekankan bahwa masyarakat juga punya hak mengawal, mengawasi, dan menyukseskan pilkada. Oleh karena itu, jika ditemukan indikasi praktik politik uang, segera laporkan dan segara ditindaklanjuti.
Sebagai anggota Komisi II DPR RI, Cornelis akan terus memantau, mengawal, dan mengawasi pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia, termasuk Kalimantan Barat. Ia mengingatkan juga adanya istilah "serangan fajar" menjelang pilkada yang merupakan praktik politik uang pada masa tenang.
"Jangan coba-coba untuk melakukan kecurangan, baik itu oleh peserta pilkada maupun penyelenggara," kata kader PDIP ini.
Sementara itu, untuk mengantisipasi praktik politik uang pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, bawaslu setempat mengandeng tokoh adat sebagai mitranya dalam mencegah dan mengawasi pelanggaran pilkada serentak.
"Kita sama-sama mencegah pelanggaran pilkada. Sementara itu, pemilih yang diwakilkan, jangan main-main karena sanksinya bisa pidana," kata Ketua Bawaslu Kabupaten Kapuas Hulu Musta'an.
Selain itu, kata Musta'an, pihaknya bersama sejumlah pihak terkait akan melaksanakan patroli dalam mencegah dan mengawasi praktik politik uang, isu SARA, pemilihan diwakilkan, maupun pelanggaran pemilu lainnya.
"Tentu kami sudah memetakan daerah rawan yang berpotensi terjadinya praktik politik uang dan lainnya," kata Musta'an.