TEMPO.CO, Jakarta - Pakar keamanan siber dan komunikasi CISSReC Pratama Persadha menyatakan pemberian suara secara elektronik (e-voting) belum bisa diterapkan pada Pilkada 2020 kendati undang-undang sudah mengakomodasi. Salah satu faktor yang sulit untuk dijalankan ialah kesiapan infrastruktur.
"Terlalu berat menyiapkan infrastrukturnya karena semuanya full electronic, apalagi masalah pengamanan datanya," kata Pratama, Rabu, 23 September 2020.
Pratama mengatakan pelaksanaan e-voting, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 85, mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. "Intinya harus melihat kesiapan infrastruktur di setiap daerah," ujar Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC.
Dengan adanya tarik ulur Pilkada 2020 diundur karena pandemi Covid-19, kemudian muncul lagi ide tentang e-voting, Pratama menilai sulit untuk direalisasikan saat ini. Secara prinsip, kata dia, e-voting bisa dilaksanakan di Indonesia. Namun, tidak bisa 100 persen karena masih ada wilayah yang sulit dijangkau sinyal internet.
Kendati demikian, ada jalan tengah bagi wilayah yang sulit internet, yakni pemilihan tetap dilakukan secara manual. Namun, hasil penghitungan suara dikumpulkan di satu titik lokasi khusus yang tersambung dengan internet dan sistem e-voting.
Pratama mengatakan KPU pada Pilkada 2020 mencoba menerapkan e-rekap. Hal ini bisa menjadi satu percobaan apakah KPU siap dengan sistem yang lebih sederhana.
"Namun, e-rekap juga memiliki kendala sama karena tidak semua terjangkau internet," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
Ia menuturkan harus ada satu titik lokasi atau tempat hasil perhitungan suara dikumpulkan, lalu rekapitulasi suara dikirim dari lokasi tersebut. Menurut Pratama, yang harus disiapkan sebenarnya bukan hanya masalah sistem serta infrastruktur internet, melainkan juga dengan kesiapan sumber daya manusia (SDM) sebagai user utamanya.
Selain itu, lanjut dia, faktor keamanan sistem menjadi sangat penting saat menggunakan model pemilu elektronik. Pasalnya, e-voting rawan mengundang kecurangan lewat peretasan. "Hasilnya bisa dengan mudah didelegitimasi bila ditemukan kecurangan maupun kesalahan sistem," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Jalan panjang menuju e-voting, tuturnya, masyarakat harus disiapkan dengan edukasi jauh-jauh hari. Minimal pemilu elektronik masuk dalam edukasi berkehidupan siber di Indonesia sehingga masyarakat bisa beradaptasi. Di lain pihak, menurut dia, sistem bisa disinkronisasi dengan database milik dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) sehingga verifikasi menjadi lebih mudah.