TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi mendorong pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) kedua terkait Pilkada 2020. Sebab, Fahmi menilai aturan yang ada belum memadai untuk memastikan pelaksanaan tahapan pilkada sesuai protokol Covid-19.
"Mesti ada evaluasi dan salah satu rekomendasinya dorong saja lahirkan perpu, karena situasi kita menuntut itu," kata Fahmi dalam webinar, Kamis, 17 September 2020.
Fahmi mengatakan penerapan protokol kesehatan sulit jika hanya disandarkan pada penyelenggara pemilu. Apalagi, sanksi bagi pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan pun belum diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Fahmi pun mengusulkan sejumlah hal yang perlu diadopsi dalam perpu. Pertama ihwal metode kampanye yang boleh dilakukan dan tak boleh dilakukan. Persoalan kampanye tengah disorot saat ini lantaran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2020 ternyata membolehkan kampanye dengan metode konser musik.
Meski ada batasan maksimal diikuti 100 peserta, banyak pihak khawatir konser musik memicu kerumunan yang lebih besar. Adanya kerumunan pun dikhawatirkan menjadi klaster penyebaran virus corona.
Selain metode kampanye, Fahmi mengatakan perpu juga mesti mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, termasuk siapa yang bertugas melakukan penindakan. Ia menyarankan sanksi bagi pasangan calon bukan sekadar teguran.
"Barangkali arah sanksinya itu ke hal-hal yang sifatnya elektoral, misalnya enggak ikut tahapan berapa lama," kata Fahmi.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini senada menyatakan perlunya sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan di tahapan pelaksanaan Pilkada 2020. Titi mengatakan pengaturan sanksi ini perlu dilakukan melalui revisi Undang-undang Pilkada, baik lewat perpu atau revisi terbatas.
"Kalau pemerintah memang ingin pilkada dan tidak mau ditunda, maka pilihan logisnya revisi UU Pilkada," kata Titi dalam diskusi yang sama.
Titi mengatakan revisi UU Pilkada atau perpu itu harus memuat sanksi yang komprehensif bagi pelanggar protokol kesehatan. Ia mendukung mereka bukan cuma dikenai sanksi administratif, tetapi juga pidana.
"Saya mendukung sanksi pemidanaan itu karena pelanggaran protokol kesehatan adalah pelanggaran yang membahayakan nyawa manusia," ujar Titi.