TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan pemenang pemilihan kepala daerah atau pilkada yang berstatus tersangka atau terdakwa tetap berhak dilantik sebagai kepala daerah. Selama belum dijatuhi vonis hakim, menurut Tjahjo, yang bersangkutan masih dianggap tidak bersalah.
"Semua calon kepala daerah yang kebetulan tersangka atau terdakwa, yang menang pilkada, sepanjang belum mempunyai kekuatan hukum, tetap akan dilantik sebagai kepala daerah sampai yang bersangkutan memiliki kekuatan hukum tetap atau ada keputusan pengadilan," kata Tjahjo melalui pesan singkat, Jumat, 29 Juni 2018.
Baca: Ditahan KPK, Ini Rahasia Kemenangan Calon Bupati Tulungagung
Tjahjo menuturkan hak untuk dilantik itu tertera dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam Pasal 163 ayat 6 dijelaskan calon gubernur dan atau calon wakil gubernur yang menjadi tersangka tetap dilantik. Sementara aturan pelantikan calon bupati dan wali kota terdapat pada Pasal 164 ayat 6 di UU yang sama.
Kepala daerah berstatus tersangka atau terdakwa, ujar Tjahjo, akan diberhentikan jika telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. "Begitu keputusan hukum tetap bersalah, ya, langsung diberhentikan," katanya.
Simak: Bupati Tulungagung Menang Pilkada, KPK: Kasusnya Terus Diproses
Menurut dia, penanganan kasus para pemimpin daerah yang terjerat kasus hukum tetap berjalan meski mereka sudah dilantik. Pelantikan kepala daerah dengan status tersangka sudah dilakukan dari bertahun-tahun silam. "Ada yang dilantik di tahanan juga," ujarnya. Namun begitu dinyatakan bersalah, mereka diberhentikan dan diganti dengan pejabat baru.
Penjelasan Tjahjo berkaitan dengan kemenangan calon bupati Tulungagung inkumben Syahri Mulyo di pilkada 2018. Syahri menang atas lawannya, Margiono. Hasil penghitungan suara sementara yang masuk ke Komisi Pemilihan Umum Tulungagung, pasangan Syahri Mulyo-Maryoto Bhirowo meraih 60,1 persen suara. Sedangkan pasangan Margiono-Eko Prisdianto hanya mendapat 39,9 persen suara.
Syahri ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 8 Juni 2018. Ia diduga menerima suap bersama Wakil Wali Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar. Suap kepada dua kepala daerah itu terkait dengan pengadaan barang dan jasa Pemerintah Kabupaten Tulungagung dan Pemerintah Kota Blitar tahun anggaran 2018. KPK menyita tiga kardus berisi uang Rp 2,5 miliar dari kasus ini.