TEMPO.CO, Bogor - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan model pemilihan umum ala masyarakat adat, seperti sistem noken tidak bisa digantikan dengan sistem voting yang umum digunakan saat ini.
Sekretaris Jenderal AMAN, Ruka Somboliggi menilai sistem voting bisa merusak ikatan sosial politik dan kekerabatan di masyarakat adat. Ruka mengatakan sistem voting memang bisa dilakukan di masyarakat perkotaan yang tak masalah dengan perbedaan pilihan.
"Di kampung, saudara bisa berkelahi gara-gara Pemilu," kata Ruka di Sentul, Bogor pada Ahad, 15 April 2018. Menurut dia, sistem musyawarah yang dianut masyarakat adat sudah pas untuk menghindari munculnya konflik.
Baca: Masyarakat Adat Sulit Gunakan Hak Pilih Pemilu, Sebabnya...
Di kampung, kata Ruka, semua keputusan didasari oleh musyawarah. Dalam beberapa contoh kasus, ketika muncul sistem mencoblos di masyarakat adat, konflik cenderung muncul. Biasanya pemilihan yang jadi masalah adalah pemilihan pejabat lokal misalnya pemilihan kepala desa maupun bupati.
Sedangkan pemilihan anggota legislatif dan presiden, menurut Ruka, justru tidak begitu terpengaruh. "Ketika muncul mencoblos, orang punya pilihan, tidak ada mekanisme saling bernegosiasi atau bermusyawarah. Pilkades dan Pilbup itu bisa berkelahi," ujarnya.
Ruka mendorong sistem demokrasi musyawarah ala masyarakat adat itu bisa diterapkan secara nasional. Sebab, menurut dia, sistem itu yang sebenarnya sistem pemilihan asli dari Indonesia. "Kami menentang demokrasi liberal dan menawarkan pola demokrasi ala masyarakat adat bisa diadopsi oleh negeri ini. Yang salah adalah parpol yang bawa uang, kok malah masyarakat adat yang dinilai bermasalah," ujarnya.
Baca: HUT Masyarakat Adat, Menteri Siti Sampaikan Pesan Jokowi
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menemukan masih banyak masalah dalam pemilu yang menggunakan sistem noken di Papua. Sejauh ini, masih ada 13 kabupaten dari 29 kota dan kabupaten di Papua yang menggunakan sistem noken.
Masalah sistem noken berhubungan dengan penentuan dan penjatahan perolehan suara bagi para pasangan calon yang dilakukan kepala suku bersama dengan warganya tidak direkam sebagai sebuah tahapan dalam keputusan KPU. Selain itu, dalam sistem noken, intervensi kepala suku cukup besar, dan pengaruhnya tidak sekadar pada proses pungut hitung. Bahkan terdapat pemilih yang mencoblos langsung di tempat pemungutan suara yang berlaku sistem noken.
Klaim-klaim suara dengan sistem noken di sengketa perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi banyak didasari tanpa bukti yang tidak terukur oleh penggugat ataupun pihak terkait. Suara suku-suku tidak terwakili karena dominasi suku tertentu.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan menuturkan beberapa kabupaten di Papua yang menerapkan sistem noken patut dikaji untuk mencari solusi terbaik tentang model pilkada. Menurut dia, sistem noken seharusnya memudahkan, tapi tetap demokratis dan aspiratif, bukan dipukul rata seperti sekarang. "Noken itu semestinya bukan model klaim seperti itu," ujarnya.