TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebutkan tiga alasan rendahnya minat masyarakat untuk menjadi pemantau dalam pemilihan kepala daerah calon tunggal. "Ada kendala yang bersifat substantif dan ada kendala teknis," tuturnya kepada Tempo, Ahad, 15 April 2018.
Ada 15 daerah yang akan menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal. Daerah-daerah itu adalah Deli Serdang, Padang Lawas Utara, Kota Prabumulih, Pasuruan, Lebak, Tangerang, Kota Tangerang, Tapin, Minahasa Tenggara, Bone, Enrekang, Mamasa, Mamberamo Tengah, Puncak, dan Jayawijaya.
Baca: Bawaslu Dorong Masyarakat Daftar Jadi Pemantau Pemilu 2019 …
Tiga alasan warga enggan menjadi pemantau pilkada adalah:
- Tidak menerima informasi sehingga masyarakat tidak mengetahui pentingnya pemantau pilkada. "Padahal pemantau dalam pilkada calon tunggal itu kan sebenarnya bisa mewakili kotak kosong dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi," kata Titi.
- Minimnya gerakan masyarakat sipil di daerah dengan calon tunggal. Belum lagi kendala ketersediaan dana untuk operasional pemantau di daerah. "Sulit juga kami mau melakukan pemantauan sementara ada kendala di pendanaan dan penjangkauan masyarakat," ujarnya.
Baca: JPPR Mendaftar Jadi Lembaga Pemantau ...
- Masyarakat skeptis terhadap peran pemantau di daerah dengan calon tunggal. Hal itu berbanding lurus dengan kesadaran masyarakat di daerah calon tunggal sebagai hal baru. "Masyarakat belum sadar kotak kosong bisa jadi alternatif pilihan dan ruang ekspresi melakukan perlawanan," ucapnya.
Badan Pengawas Pemilu melaksanakan sosialisasi mengenai pemantau pemilu di Lebak, Banten, pada Jumat, 13 April 2018.