TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan menyatakan minat lembaga pemantau pemilu untuk memantau pemilihan kepala daerah 2018 (Pilkada 2018) sangat rendah.
"Saya belum dapat info lengkap, tapi tampaknya minat pemantau untuk memantau pilkada 2018 nyaris tidak ada," ujar Komisioner KPU Wahyu Setiawan di Kantornya, Rabu, 4 April 2018.
Padahal, di daerah pilkada dengan pasangan calon tunggal, hanya pemantau pemilu yang bisa mengajukan sengketa pemilu, selain sang calon. Sebab, tidak ada lagi pihak lain yang memiliki legal standing mengajukan sengketa.
Kini, ada 15 daerah dengan pasangan calon tunggal, antara lain Deli Serdang, Padang Lawas Utara, Kota Prabumulih, Pasuruan, Lebak, Tangerang, Kota Tangerang, Tapin, Minahasa Tenggara, Bone, Enrekang, Mamasa, Mamberamo Tengah, Puncak, dan Jayawijaya.
Wahyu menduga minimnya minat pemantau tersebut disebabkan sulitnya persyaratan yang perlu dipenuhi pemantau untuk mendaftar. Persyaratan itu antara lain berbadan hukum, memiliki sumber daya manusia untuk memantau, serta sumber dana mandiri yang artinya tidak boleh dari pihak yang berafiliasi dengan kandidat, apalagi kandidatnya.
"Sehingga untuk lembaga pemantau yang tidak profesional akan sulit," ujar dia. "Bagi sekelompok masyarakat yang sekadar berminat sulit untuk memenuhi persyaratan."
Wahyu juga khawatir bila persyaratannya tidak memadai, dapat mengakibatkan kualitas pemantau tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dia khawatir adanya pemantau yang partisan dan malah merusak demokrasi.
Minimnya minat pemantau dalam Pilkada 2018 ini, menurut Wahyu, memprihatinkan. Alasannya, menjadi pemantau termasuk dalam partisipasi pemilu. Sehingga, berkurangnya minat pemantau ini menandakan kemunduran bagi partisipasi politik warga. "Karena rumusnya, semakin banyak yang terlibat, akan semakin baik. Termasuk di bidang pemantau," ujar dia.