TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memutuskan menunda proses hukum calon kepala daerah yang terlibat tindak pidana selama pemilihan kepala daerah. Prasetyo beralasan penundaan itu akan memberikan manfaat di aspek politik dan hukum.
"Pesta demokrasi bisa berjalan sebagaimana adanya tapi proses hukum juga tidak dihentikan," kata Prasetyo di komplek Parlemen, Rabu, 28 Maret 2018.
Baca: Jaksa Agung Putuskan Tunda Proses Hukum Calon Kepala Daerah
Wacana menunda proses hukum pasangan calon kepala daerah bermasalah telah beberapa kali diungkapkan Prasetyo. Keputusan penundaan itu resmi ia umumkan di depan anggota Komisi Hukum DPR saat rapat dengar pendapat, kemarin.
Prasetyo menjajikan bahwa proses hukum calon kepala daerah tidak akan dihentikan. Proses hukum di Kejaksaan, kata dia, akan dilanjutkan setelah pemilihan kepala daerah selesai. "Karena kalau proses hukum tidak ditunda berarti bisa mengganggu atau membatalkan proses demokrasinya," ujar dia.
Prasetyo berdalih penundaan proses hukum dilakukan karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah tidak memungkinkan calon kepala daerah mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. "Undang-Undang tak memungkinkan calon mengundurkan diri atau ditarik setelah penetapan oleh KPU," katanya.
Baca: Golkar Usul Perppu Calon Kepala Daerah Korupsi Dapat Diganti
Keputusan menunda proses hukum calon kepala daerah kriminal juga dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian. Penundaan pemeriksaan ini dipertimbangkan karena ada kemungkinan calon kepala daerah kehilangan simpati dari masyarakat setelah diperiksa dalam kasus hukum.
"Karena kekhawatiran akan menjatuhkan elektabilitas, kami keluarkan surat edaran ke seluruh jajaran untuk menunda proses hukum bagi para calon yang ditetapkan," kata Tito di DPR, dua pekan lalu.
Sama seperti Jaksa Agung, Tito menjelaskan proses hukum tetap akan dilaksanakan setelah pemungutan suara dan hasil pemilu diketahui. "Sehingga ketika proses hukum dilakukan yang bersangkutan ditahan, tidak merugikan partai dan pendukungnya," kata dia. Tito berdalih hal itu untuk menghindari kerugian partai pengusung calon kepala daerah.
Korupsi ditengarai marak di pemilihan kepala daerah tahun ini. Sebagian inkumben yang kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah diduga memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh modal kampanye.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan 1.219 transaksi mencurigakan terkait dengan pendanaan kampanye dalam pemilihan kepala daerah. Transaksi tersebut terdiri atas 53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah. Menurut Wakil Ketua PPATK, Dian Adiana Rae, aliran dana mencurigakan itu sudah mulai muncul pada akhir tahun lalu hingga tiga bulan pertama tahun ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga telah menangkap belasan calon kepala daerah yang diduga melakukan korupsi. Berbeda dengan Kepolisian maupun Kejaksaan, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan lembaganya berupaya mencokok semua calon kepala daerah yang korup sebelum hari pencoblosan pada 27 Juni nanti. Hal itu dilakukan supaya publik tidak salah pilih, karena kesalahan memilih bisa menyebabkan masyarakat dipimpin oleh pemimpin yang korup. “Kami ingin pemilihan kepala daerah berjalan baik. Penegakan hukum juga harus berjalan baik,” ujarnya.
Anggota KPU, Wahyu Setiawan, mengatakan memang aturan saat ini melarang kepala daerah untuk mundur, pun partai pengusung juga tidak bisa menarik dukungan. Namun KPU mempersilakan KPK untuk tidak menunda proses hukum dan penetapan tersangka terhadap calon kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
ARKHELAUS WISNU