TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta tidak menjadi alat kepentingan untuk kelompok patrimonial di Pilkada 2018. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yenny Sucipto meminta kedua lembaga itu berlaku profesional dan netral.
"Jangan sampai KPU dan Bawaslu dijadikan alat kepentingan oleh kelompok patrimonial," tutur Yenny melalui keterangan tertulis, Rabu, 7 Maret 2018.
Baca juga: Pilkada 2018 Dinilai Tidak Luput Dari Politik Patrimonial
Pilkada 2018, kata Yenny, tidak luput dari politik patrimonial atau sering disebut dinasti politik. Politik patrimonial, dia melanjutkan, harus dilarang dengan tegas karena dapat membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan.
Yenny berujar, salah satu contoh pilkada yang melanggengkan politik patrimonial ada di Sulawesi Tenggara. Di daerah itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap Asrun, calon gubernur Sulawesi Tenggara.
Baca juga: KPK Siapkan Pembekalan Calon Kepala Daerah di Pilkada 2018
Menurut Yenny, setidaknya 11 dari 45 anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara hasil Pemilu 2014 adalah keluarga pejabat daerah. Pada Pilkada 2015 dan 2017, banyak kepala daerah terpilih di Sulawesi Tenggara merupakan keluarga politisi lokal.
Pilkada yang melanggengkan dinasti politik lainnya, manurut Yenny, ada di pemilihan gubernur Sumatra Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Kalimantan Barat. Sedangkan ditingkat kabupaten/kota ada di Kota Serang, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Purwakarta.