TEMPO.CO, Samarinda - Pencalonan Syaharie Jaang sebagai bakal Gubernur Kalimantan Timur sempat menuai perhatian publik. Ini karena sebelum pencalonannya, Syaharie Jaang dipanggil Badan Reserse Kriminal Polri untuk menjadi saksi dalam kasus kasus pungutan liar Tarif Area Parkir Pelabuhan Peti Kemas, Palaran, Samarinda.
Partai Demokrat yang mengusung Syaharie Jaang menuding kriminalisasi terhadap jagoannya itu terjadi setelah Syaharie batal menggandeng Kepala Polda Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Safaruddin sebagai calon wakil gubernur Kaltim di Pilkada 2018. Namun Safaruddin telah membantah hal tersebut. "Kalau ada orang nuduh, saya bilang Alhamdulillah karena amal ibadahnya orang yang memfitnah buat saya di akhirat," kata Safaruddin di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan pada Kamis, 4 Januari 2017.
Baca juga: Kepala Polda Kaltim Safaruddin Bantah Kriminalkan Syaharie Jaang
Kasus yang sempat menyeret Syaharie Jaang itu terjadi saat dirinya masih menjabat Wali Kota Samarinda. Jaang memang berkuasa cukup lama di Samarinda. Sebagai wakil wali kota ia menjabat dua periode sejak 2000-2005 dan 2005-2010. Karir Jaang dilanjutkan dengan menjadi Wali Kota Samarinda juga selama dua periode yaitu 2010-2015 dan 2015-sekarang (status cuti).
Jaang yang lahir pada 10 September 1964 memulai karirnya sebagai karyawan di perusahaan kayu PT Putra Bengalon dan PT Pasifik Bontang Raya mulai dari 1984-1985. Dia kemudian bekerja di beberapa perusahaan lainnya hingga 1990.
Syaharie Jaang memutuskan untuk berkarir di bidang politik setelah reformasi. Ia menjadi anggota DPRD Kota Samarinda dari Fraksi PDI Perjuangan pada 1999-2000. Karir Syaharie moncer setelah ia diputuskan menjadi Ketua Fraksi PDIP DPRD Kota Samarinda. Ia pun mengikuti pemilihan calon wali kota-wakil wali kota Samarinda.
Jaang menjadi calon wakil wali kota mendampingi Achmad Amins. Pasangan ini kemudian terpilih. Pasangan ini kemudian mengikuti kontes Pilkada pertama pada 2005. Achmad Amins-Syaharie Jaang terpilih lagi sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Samarida periode 2005-2010.
Pada 2010 giliran Jaang yang menjadi calon wali kota dan akhirnya terpilih hingga periode 2010-2015. Ia kemudian terpilih lagi hingga periode 2020. Namun belum menyelesaikan tugasnya pada periode dua, Jaang pun mengikuti kontes pemilihan gubernur Kalimantan Timur berpasangan dengan Awang Ferdian Hidayat. Mereka didukung oleh Partai Demokrat, PPP, PKB dan Partai Nasional Demokrat.
Baca juga: Pilkada Kaltim, Syaharie Jaang Terus Jalin Komunikasi ke Partai
Pada musim kampanye ini, Jaang yang didukung koalisi Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai NasDem itu pun sibuk berkeliling. “Sama lah dengan kandidat lain, kita silaturahmi, sosialisasi. Selain daripada itu, ada juga kegiatan rutin menghadiri undangan masyarakat, baik dalam rangka agenda politik ataupun tidak,” kata Jaang, kepada Tempo di Rumah Jabatan Wali Kota Samarinda, Ahad, 4 Maret 2018.
Menjadi pemimpin di Samarinda selama lebih dari 15 tahun, Jaang enggan membanggakan diri sendiri terkait capaiannya.
“Saya tidak bisa menilai keberhasilan diri saya sendiri, mengatakan bahwa semua tercapai. Apa yang sudah tercapai dan belum, saya serahkan ke masyarakat. Selalu saya katakan, kalau masyarakat senang, kita pasti senang lah,” kata Jaang.
Namun, untuk Kota Samarinda, hampir 4 periode memimpin baik menjadi Wakil atapaun menjadi Walikota, Jaang mengaku fokusan utama ialah pengendalian banjir. Ada beberapa faktor yang menurut Jaang menjadi penyebab banjir di Kota Tepian—sebutan Kota Samarinda. Seperti faktor pembiayaan atau ketersediaan anggaran, faktor kebijakan dan kondisi alam.
“Samarinda ini kan dibawah permukaan laut, tapi secara umum memang kondisi alam (penyebab banjir). Seperti kita ketahui, beberapa daerah di Indonesia juga banjir. Tapi, sebagai pengambil kebijakan, itu tidak bisa jadi alasan dan harus secara optimal untuk menanggulanginya secara bersama-sama,” kata Jaang.
Syaharie Jaang menyadari banyak yang mengkritik dirinya soal banjir dan maraknya pertambangan di Kota Samarinda. Bagi Jaang, banyak faktor penyebab banjir, pertama soal anggaran penanggulangan banjir, faktor kebijakan tata kelola kota dan faktor kondisi alam.
“Kalau bicara banjir bukan hanya bicara Samarinda ya, pasti jadi suatu hal yang umum. Seperti di Balikpapan, Kutai Barat juga beberapa daerah di Kutai Kartanegara,” kata Jaang.
Jaang menilai, jika banjir dikaitkan dengan kondisi lingkungan, itu bisa benar bisa juga tidak terkait dampaknya. Sejumlah pengamat lingkungan di Samarinda menilai salah satu penyebab banjir ialah maraknya aktivitas tambang di Samarinda.
“Kalau di Balikpapan bisa kita lihat ya, tidak ada tambang, ada banjir,” kata Jaang.
Menurutnya, faktor lainnya yang tidak bisa dihindari ialah meningkatnya kebutuhan hunian di perkotaan menjadi salah satu hal yang berdampak pada kondisi lingkungan. Ia menyorot pengembang perumahan menengah bawah dengan kepemilikan lahan di bawah lima hektar dalam membangun, tak sebaik dengan pengembang yang memiliki lahan luas.
“Tapi, di perkotaan, meningkatnya kebutuhan tempat tinggal itu hal itu yang tak bisa dihindari,” kata Jaang.
Sementara, menurut Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim) penyebab utama banjir di Samarinda ialah jumlah kawasan resapan air yang hampir-hampir tidak ada.
“Mayoritas kawasan penyangga ini habis dan hilang berganti menjadi tambang,” kata Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang kepada Tempo, Senin, 5 Maret 2018.
Pradarma menjelaskan, luas Kota Samarinda 72.365 hektare sedangkan 70 persen luas daratan Kota Samarinda dialihkan menjadi Tambang atau setara dengan 50.733 hektare. Sebanyak 29,3 persen setara 21.166 hektare untuk permukiman dan hanya 0,9 persen atau setara 651 Hektare sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH).
“54 persen atau seluas 27.556 hektare konsesi tambang yang ada di Kota Samarinda diterbitkan oleh Pemkot Samarinda dan sisanya berasal dari Pemerintah Pusat serta Provinsi,” kata Pradarma.
Selain soal banjir dan tambang, Jaang bakal dihadapkan masalah yang lebih besar di Kalimantan Timur terkait kesejahteraan masyarakat dan infrastruktur. Menurut Jaang dia sudah punya program untuk menangani masalah tersebut.
Untuk kesejahteraan desa, Syaharie Jaang-Awang Ferdian Hidayat akan mengalokasikan Rp 1 Triliun setiap tahunnya untuk 836 desa ditambah sejumlah kelurahan di Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur.
Menurut Syaharie Jaang, desa memiliki peran penting dalam menopang kemajuan negara. Ia memaparkan status 836 desa di 7 Kabupaten di Kaltim, menurut Index Desa Membangun berdasarkan Peraturan Menteri Desa Nomor 2 Tahun 2016.
“Satupun desa di kaltim ini belum ada yang berstatus Mandiri. Adanya, 8 Desa berstatus Maju, 140 Desa berstatus Berkembang, 393 Desa berstatus Tertinggal dan 295 Desa berstatus Sangat Tertinggal,” kata Jaang.
Dana yang digulirkan itu kelak akan digunakan menjalankan program yang selaras dengan kebijakan pemerintah provinsi Kalimantan Timur.