TEMPO.CO, Jakarta - Mayor Jenderal Sudrajat menduduki posisi Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia pada 1999, setahun setelah tumbangnya rezim diktator Orde Baru yang disokong militer. Suasana euforia masih berlangsung ketika itu dan TNI salah satu institusi yang paling banyak menjadi sasaran kritik. Setelah tiga dekade berada dalam bayang-bayang otoritarianisme, demokrasi perlahan berupaya menemukan bentuknya di masa-masa transisi tersebut.
Dan Sudrajat harus menampilkan wajah tentara yang berubah, dari yang antikritik dan cenderung kaku menjadi ramah dan terbuka. Peran itu relatif sukses dijalankan oleh lulusan Akademi Militer pada 1971 itu. Ia tangkas menjawab isu-isu tajam yang gaungnya hingga ke dunia internasional, antara lain kasus Timor Timur, kasus pelanggaran hak asasi manusia, kasus separatisme di Aceh dan Papua, hingga desakan agar tentara kembali ke barak dan lain-lain.
Baca juga: Deddy Mizwar: Dari Jenderal, Capres, hingga Cagub Jawa Barat
Setelah Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden, Sudrajat digeser sebagai staf ahli Panglima TNI pada awal 2000. Setahun kemudian ia menjabat Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan hingga pensiun. Karier Sudrajat beralih di ranah sipil. Ia, antara lain, menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Cina dan Mongolia (2005-2009).
Pria kelahiran 4 Februari 1949 itu juga tercatat merintis bisnis transportasi pesawat Susi Air bersama Susi Pudjiastuti. Sudrajat naik menjadi Chief Executive Officer maskapai tersebut setelah Susi mengundurkan diri karena ingin fokus sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja.
Di dunia politik, Sudrajat pernah menduduki ketua organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat (NasDem) Jawa Barat. Sudrajat mundur setelah NasDem menjadi partai politik pada 2011. Namanya sempat sekejap muncul saat mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada pemilu 2014. Di 2018, dia maju menjadi calon gubernur Jawa Barat, berpasangan dengan Ahmad Syaikhu. Pasangan ini didukung Gerindra, PKS, dan PAN.
Baca juga: Uu Ruzhanul Ulum, Kombinasi Riil Kota-Desa di Pilkada 2018 Jabar
Pilihan koalisi Gerindra yang memiliki 11 kursi di DPRD Jawa Barat, PKS (12 kursi) dan PAN (4 kursi) yang menduetkan Sudrajat-Ahmad Syaikhu cukup mengejutkan. Sebab, Sudrajat jarang disebut bakal maju sebagai calon gubernur. Apalagi elektabilitas jenderal yang pernah mengenyam pendidikan Master in Public Administration di Harvard University Amerika pada 1993 itu tertinggal oleh Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto membantah penunjukan Sudrajat tiba-tiba. Menurut kolega Sudrajat di tentara itu, Gerindra sudah melalui proses panjang dalam menyeleksi calon gubernur, termasuk minta pendapat ulama, pengusaha, dan tokoh masyarakat. Menurut Prabowo, Sudrajat akhirnya dipilih karena memenuhi syarat. Prabowo juga menyebut Sudrajat sebagai jenderal yang cerdas lantaran pernah kuliah di Harvard.
"Saya tidak ingin mengambil keputusan hanya mengikuti selera sendiri," kata Prabowo saat mengumumkan Sudrajat-Syaikhu sebagai pasangan calon di rumahnya, kawasan Bojong Koneng, Bogor, Sabtu, 9 Desember 2017.
Baca juga: TB Hasanuddin: Mantan Ajudan Presiden Jadi Cagub Jawa Barat
Namun langkah Sudrajat menggapai kursi Jabar-1 tak mudah. Setidaknya dalam sisa waktu menuju pemungutan suara diperlukan kerja keras untuk meningkatkan elektabilitasnya. Sebab, berdasarkan hasil survei pra-pilkada Cyrus Network yang dipublikasikan pada 5 Februari 2018, elektabilitas pasangan dengan nomor urut 3 itu masih 5 persen.
Meski demikian Sudrajat tetap optimistis. Kendati elektabilitas dan popularitasnya tertinggal oleh calon lain, namun dia berharap masyarakat memilih pemimpin berdasarkan kualitas. Sudrajat berujar demokrasi Indonesia akan makin berkualitas jika masyarakatnya memilih pemimpin dari segi kualitas, bukan dari popularitas. "Mudah-mudahan saya bisa membaktikan diri saya kepada Jawa Barat," ucap bapak dua putera ini.