TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga yang mengkaji persoalan politik anggaran, Indonesia Budget Center (IBC), mengungkapkan bahwa sepuluh dari 17 provinsi peyelenggara pemilihan kepala daerah serentak 2018 sangat rawan korupsi. Pilkada pada sepuluh daerah itu mayoritas diikuti calon gubernur dan wakil gubernur inkumben, anggota legislatif, serta mantan kepala daerah.
Sepuluh daerah itu adalah Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. “Anggaran publik menjadi sasaran korupsi mereka,” kata Direktur IBC, Roy Salam, dalam diskusi bersama Badan Pengawas Pemilu menjelang pemilihan kepala daerah serentak, di Jakarta, Minggu, 25 Februari 2018.
Baca: Pilgub Jatim, SBY Populerkan Sebutan Bude Khofifah
Pemillihan kepala daerah serentak dilaksanakan pada 27 Juni mendatang, diikuti 171 daerah. Sedikitnya 559 pasangan calon telah mendaftar. Sebanyak 220 orang merupakan calon inkumben dan 176 orang berlatar belakang anggota legislatif, baik DPR maupun DPRD.
Deputi IBC, Elisabeth Koesrini, menjelaskan bahwa potensi korupsi yang muncul di 10 daerah tersebut beragam. Menurut dia, apabila ditelusuri dari calon inkumben, potensi korupsi yang muncul adalah penyalahgunaan kewenangan, seperti dana bantuan sosial. Selain itu, adanya dugaan keterlibatan mereka dalam tender proyek untuk kepentingan dana pencalonan kembali menjadi kepala daerah. Sedangkan potensi korupsi yang muncul dari calon gubernur berlatar belakang anggota legislatif adalah pengaruh alokasi anggaran untuk kepentingan pencalonan.
Adapun potensi korupsi calon gubernur yang berasal dari mantan kepala daerah bisa muncul dalam bentuk lobi-lobi dengan pengusaha karena memiliki relasi kekuasaan yang masih kuat. “Misalnya seorang bupati yang maju menjadi calon gubernur,” kata dia.
Baca: Suap Pilkada, KPU Garut Belum Menggelar Rapat Internal
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhani, menyoroti bahwa potensi korupsi tertinggi ada pada calon inkumben. Sebab, calon inkumben memiliki pengaruh dalam tiga hal strategis, yaitu keuangan daerah, birokrasi, dan pemberian dana bantuan sosial. Terlebih, kata dia, sumbangan dari pihak ketiga dirasa tak mungkin diterima calon inkumben tanpa janji tertentu. “Itu membuat potensi korupsi jadi semakin besar,” ujar dia.
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch, Febri Hendri, mengatakan hal senada. Menurut dia, potensi korupsi tertinggi ada pada calon inkumben. “Mereka punya kewenangan besar pengelolaan anggaran, badan usaha milik daerah, dan birokrasi,” katanya. Meski begitu, potensi korupsi dari calon berlatar belakang anggota legislatif juga tinggi, seperti jual-beli anggaran infrastruktur di daerah.
Adapun menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Sunanto, potensi korupsi paling banyak menyasar anggaran dana bantuan sosial yang diselewengkan calon inkumben, selain modus meminta setoran dari pihak ketiga. “Itu korupsi yang selama ini dilakukan sebagai modal pencalonan kembali,” kata Sunanto.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Fritz Edward Siregar, mengatakan sudah menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dana kampanye setiap calon yang maju pilkada. “Bisa dipidana kalau tidak jelas dapat dari mana,” kata dia.