TEMPO.CO, Jakarta - Keterlibatan perempuan dalam politik dianggap masih bergantung pada jaringan kekerabatan, termasuk dalam pertarungan pilkada 2018. Partai dinilai masih pragmatis dan berorientasi pada aspek elektabilitas dan kekuatan modal.
"Karena itu, peluang pencalonan perempuan tertutup oleh dominasi kekuatan modal dan elektabilitas yang mayoritas dimiliki laki-laki," kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Maharddhika di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta Pusat, 21 Februari 2018.
Baca juga: Calon Perempuan di Pilkada 2018 Naik, Tapi Dinilai Tak Signifikan
Maharddhika mengatakan angka perempuan calon kepala daerah yang berlatar belakang jaringan kekerabatan makin naik. Dalam pilkada 2015, jumlahnya mencapai 24,39 persen. Angka itu naik menjadi 31,82 persen dalam pilkada 2017 dan pada pilkada 2018 mencapai 39 persen.
Menurut Maharddhika, hal itu menunjukkan partai tak punya suplai kader perempuan memadai. Kecenderungan itu terjadi karena partai tak punya mekanisme perekrutan anggota yang inklusif dan terbuka.
Selain jaringan kekerabatan, tutur Maharddhika, ada tiga latar belakang perempuan pendaftar calon kepala daerah yang masih dominan, yaitu kader partai, mantan anggota legislatif, dan inkumben. "Kaderisasi untuk mempersiapkan perempuan berkualitas dan mempunyai elektabilitas tinggi juga tak berjalan baik," ujarnya.
Baca juga: Maraknya Kasus Korupsi Kepala Daerah Diduga Terkait Pilkada 2018
Berdasarkan data di infopemilu.kpu.go.id, yang dikutip pada Rabu, 21 Februari 2018, pilkada 2018 akan diikuti 8,85 persen perempuan. Ada 101 perempuan dari 1140 pendaftar bakal calon kepala daerah. Sebanyak 92 calon dinyatakan memenuhi syarat, 6 calon tidak memenuhi syarat, serta 3 calon belum ditetapkan.