TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai bahwa pengajuan usulan pengangkatan dua orang perwira tinggi (Pati) aktif Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menjadi pelaksana tugas (Plt) Gubernur Provinsi Jawa Jawa Barat dan Sumatera Utara selama pilkada 2018 oleh Kementerian Dalam Negeri adalah langkah yang tidak tepat.
"Kami menilai, pengajuan usulan tersebut berpotensi bertentangan atau menyalahi sejumlah peraturan, berpotensi menggerus netralitas dan independensi Polri, juga memperlemah pemerintah sipil dalam mengelola pemerintahan," kata Koordinator KontraS Yati Andriyani dalam siaran tertulis, Senin, 29 Januari 2018.
Dua pati yang ditunjuk Tjahjo adalah Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal M. Iriawan dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Martuani Sormin. Selama pilkada, keduanya ditugaskan untuk menggantikan sementara gubernur definitif masa jabatannya akan habis pada Juni mendatang.
Tentang aturan yang ditabrak, Yati merujuk pada pasal 201 ayat 10 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Yati mengatakan Pasal itu menjelaskan untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya, tanpa frasa dan atau yang setara.
"Yang berarti jabatan tersebut diperuntukkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tidak bisa ditafsirkan sederajat dengan perwira tinggi dari institusi Kepolisian," kata Yati.
Pengaturan lebih lanjut, menurut Yati, ada pada Pasal 157 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang merupakan turunan dari Pasal 20 UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal itu mewajibkan setiap anggota Polri aktif untuk mengundurkan diri dari kedinasannya sebelum menduduki JPT setingkat Madya pada instansi Pemerintahan.
"Pengajuan usul yang memberikan kesempatan anggota Polri aktif untuk menjadi Plt gubernur jelas berpotensi menyalahi aturan perundang-undangan," katanya.
Terkait netralitas Polri, usul tersebut dikhawatirkan berpotensi memunculkan kerentanan penggunaan kekuatan Polri untuk tujuan politik dalam Pemilihan Kepala Daerah 2018. Terlebih, adanya kontestan Pilkada yang berasal dari institusi Polri.
"Apalagi keduanya diusulkan ditempatkan sebagai Plt di wilayah yang terdapat pasangan calon Kepala Daerah dengan latar belakang Polri dan TNI," kata Yati.
Yati mengimbau agar pemerintah mengingat bahwa netralitas Polri merupakan amanat dari Pasal 28 UU nomor 2 tahun 2002 tentang Polri. Pasal itu menyebutkan bahwa Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, serta baru dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri.
Terakhir, Yati menganggap usulan dari Menteri Tjahjo Kumolo itu akan memperlemah pemerintahan sipil. Menurut Yati, usul tersebut sekaligus memperlihatkan lemahnya pemerintahan sipil dalam mengelola kehidupan berpolitik dan tata kelola pemerintahan. "Dalam hal ini pemeritah menjadi 'penggoda' bagi Polri untuk kembali aktif berpolitik," ujarnya.
Menurut Yati, tindakan atau kebijakan seperti itu akan mengganggu semangat untuk mendorong lahirnya institusi dan anggota Polri profesional, modern dan tunduk pada prinsip demokrasi. Di sisi lain, hal tersebut juga berpotensi mencampur aduk tugas-tugas pepolisian dan pemerintahan yang berdampak buruk terhadap kehidupan bernegara dan berdemokrasi di Indonesia.
"Oleh karenanya patut dipertanyakan motivasi di balik usulan pengangkatan ini saat pilkada oleh Menteri Dalam Negeri yang merupakan bagian penyokong pemerintahan," ujar Yati.