TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan pemilihan kepala daerah atau pilkada sering kali menjadi awal tindak pidana korupsi. Hal itu menjadi rasional, ucap dia, ketika pembiayaan langkah-langkah pemenangan serta penggerakan mesin partai senilai puluhan miliar rupiah dibebankan kepada calon.
"Sebab, ketika terpilih dan berkuasa, dia akan melakukan upaya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan selama pilkada," ujar Titi dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu, 13 Januari 2018.
Baca juga: DPD I DIY: Mahar Pilkada Wassalam Jika Airlangga Ketum Golkar
Soalnya, tutur Titi, saat terpilih, seorang kepala daerah punya akses serta kekuasaan untuk melakukan manipulasi kebijakan, anggaran, dan birokrasi untuk meraup keuntungan. Ia pun mencontohkan jual-beli jabatan di Klaten, Jawa Tengah, dan pemalakan proyek infrastruktur di Bengkulu.
"Juga berbagai kesepakatan korup lain yang melibatkan kekuasaan dan anggaran yang dia kelola," ucapnya.
Titi juga beranggapan, partai politik seharusnya bisa mengantisipasi besarnya biaya pilkada, misalnya untuk membayar saksi. Akan lebih baik, kata dia, jika partai politik yang berkoalisi dapat menanggung biaya-biaya tersebut.
Sebelumnya kepada Tempo, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Fikri Yasin membenarkan adanya biaya puluhan miliar yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah.
Baca juga: Tepis Mahar, Sudirman Said Sebut Biaya Kampanye dan Operasional
Menurut Fikri, dua faktor yang menyebabkan besarnya dana pilkada adalah penyediaan alat peraga kampanye, seperti banner, spanduk, dan poster, serta pembayaran saksi. Namun Fikri tidak dapat merinci seberapa besar biasanya dana konsolidasi tersebut dikeluarkan calon.
"Sangat mungkin (dana yang dikeluarkan) puluhan miliar, bergantung pada jumlah penduduk dan luas wilayah tempat dia mencalonkan diri," ujar Fikri.