TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Pemilihan Umum menyatakan media sosial diperkirakan menjadi salah satu aspek kerawanan dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak 2018. Koordinator Divisi Pencegahan dan Sosialisasi Bawaslu Mochamad Afifuddin mengatakan prediksi tersebut mencakup dua indikator, yakni substansi materi kampanye dalam berbagai bentuk dan media serta kekerabatan politik calon.
“Dari 17 provinsi, 12 provinsi atau sekitar 71 persen di antaranya masuk kategori tinggi tingkat penggunaan media sosial dalam menangkap isu-isu pilkada,” ucap Afifuddin dalam acara rilis indeks kerawanan pilkada 2018 oleh Bawaslu di Hotel Grand Sahid Jaya, Sudirman, Jakarta Pusat, pada Selasa, 28 November 2017.
Baca juga: Bawaslu Merilis Indeks Kerawanan Pilkada 2018
Afifuddin berujar, 12 provinsi itu adalah Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Tenggara. Sebanyak lima provinsi atau sekitar 29 persen sisanya, yaitu Provinsi Papua, Lampung, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, termasuk dalam tingkat kerawanan sedang.
“Itu artinya tidak ada provinsi yang tingkat penggunaan media sosialnya rendah untuk isu-isu pilkada,” tutur Afifuddin.
Afifuddin mengatakan kerawanan penggunaan media sosial di tingkat kabupaten juga tak kalah tinggi. Afifuddin berujar, isu politik identitas hampir marak terjadi di semua daerah dengan derajat berbeda. Sebanyak 38 kabupaten atau sekitar 25 persen, ucap dia, termasuk dalam kategori tingkat kerawanan tinggi. Sebanyak 63 daerah (41 persen) termasuk kategori kerawanan sedang. Sedangkan sisanya sebanyak 53 daerah (34 persen) masuk kategori rendah tingkat kerawanannya.
Baca juga: Berikut Strategi Polisi Amankan Pilkada Serentak 2018
Afifuddin menuturkan ada dua kabupaten yang paling rawan dalam pilkada 2018, yaitu Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Tingginya potensi kerawanan di dua daerah ini, kata dia, dipengaruhi maraknya isu kesukuan dan calon putra daerah. Mobilisasi penduduk juga riskan terjadi di dua kabupaten yang merupakan daerah pertambangan ini.
“Riskan terjadi mobilisasi pekerja (pertambangan) dari luar dua daerah tersebut jika pemimpin yang terpilih bukanlah putra daerah,” kata Afifuddin.