TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri menyatakan banyak proyek daerah terhambat lantaran anggarannya dialokasikan untuk penyelenggaran pemilihan kepala daerah. Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan persoalan ini terjadi setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dijadikan sumber pembiayaan pilkada.
"Di Kaltim, ada Bupati mengeluh karena ada proyek yang sudah lelang, gara-gara pilkada, proyeknya tidak bisa dibayarkan," kata Bahtiar dalam acara diskusi "Model Pembiayaan Pilkada yang Efisien dan Efektif" di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara pada Selasa, 7 November 2017.
Baca: Kenaikan Anggaran Pilkada Serentak Berpotensi Dikorupsi
Bahtiar mengatakan terbengkalainya proyek daerah itu terjadi lantaran ada pergeseran alokasi APBD. Hal tersebut, menurut dia, biasanya terjadi satu tahun menjelang pilkada.
"Perencanaan daerah terganggu karena tahun keempat dan kelima kepala daerah harus menyisakan uang untuk pilkada," kata Bahtiar.
Baca: Kemendagri Rencanakan Anggaran Pilkada 2024 dari APBN
Bahtiar mengatakan hal tersebut terjadi di beberapa daerah. Kendati begitu, dia mengatakan belum ada data memadai soal itu. "Saya belum tahu angka pastinya. Kawan saya di Kaltim menyampaikan seperti itu. Di Riau juga banyak," ujarnya.
Pembiayaan pilkada serentak bersumber dari APBD yang disalurkan melalui naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). NPHD melibatkan pemerintah daerah, penyelenggara pilkada yakni Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum tingkat daerah, serta aparat keamanan setempat.
Bahtiar mengatakan NPHD ini pun mengalami peningkatan sejak pilkada serentak 2015. Pada pilkada 2015 yang diikuti 269 daerah, total anggaran sebesar Rp 7 triliun. Pada pilkada 2017 di 101 daerah, total anggaran bernilai Rp 5,9 triliun. Estimasi total anggaran pilkada diperkirakan meningkat untuk tahun 2018. Total anggaran diperkirakan sebesar Rp 15,15 triliun untuk pilkada di 171 daerah.