TEMPO.CO, Jakarta - Bakal calon Wakil Gubernur Jawa Timur dari PDI Perjuangan, Abdullah Azwar Anas, melakukan safari politik ke Pulau Madura, Sabtu, 28 Oktober 2017. Pertama, Bupati Banyuwangi itu berkunjung ke kantor DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bangkalan untuk silaturahmi dengan para pengurus partai itu.
Namun sebelum konsolidasi internal, Anas mengawali safarinya dengan takziah ke makam KH Muhammad Kholil atau dikenal dengan gelar Syaikhona Kholil di Desa Martajesah. Mbah Kholil, ulama karismatik Madura, merupakan guru pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. “Ini pertama kali saya ketemu pengurus partai, jadi lebih ke silaturahmi dan berkenalan,” kata dia.
Baca juga: Pengamat: Gus Ipul Menjual Prestasi Azwar Anas di Pilgub Jatim
Selain silaturahmi, Anas dan pengurus PDI Perjuangan di Bangkalan melakukan diskusi singkat. Dia ingin mendengarkan harapan kader partai sekaligus menyerap aspirasi tentang kondisi kesejahteraan warga Madura. Menurut Anas, dari diskusi itu, dia memiliki sedikit gambaran tentang kondisi sosial masyarakat Madura. Sehingga bila menang pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018 bersama Gus Ipul, Madura akan masuk program skala prioritas khususnya dalam pengentasan kemiskinan.
Anas pun punya modal pengalaman menangani kecamatan di Banyuwangi, yang berbasis Madura dan berhasil. Seperti Kecamatan Wongsorejo, dulu angka kemiskinan di sana 36 persen, sekarang tinggal 6 persen. “Caranya melalui pendekatan kultur, pribadi orang Madura punya potensi besar untuk berubah,” ujar dia.
Dari Bangkalan, Anas akan melanjutkan safari politiknya ke Kabupaten Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Azwar Anas sendiri mengaku berdarah Madura. Abdullah Azwar Anas mengatakan ayahnya kelahiran Desa Jerengoan, Kabupaten Sampang, tapi kemudian merantau ke Banyuwangi dan mendirikan lembaga pendidikan. Leluhur ibunya jika diurut-urut juga berasal dari Madura, yaitu Kabupaten Pamekasan.
Baca juga: Abdullah Azwar Anas, Anak Madrasah yang Jadi Cawagub Jatim
Pada 1983, Abdullah Azwar Anas dimondokkan oleh orang tuanya ke Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, di Kabupaten Sumenep, selama kurang-lebih 1,5 tahun. “Dalam tradisi keluarga saya, pasti semua dimondokkan di Madura walau sebentar. Agar punya budi pekerti santri Madura yang begitu hormat pada kiai,” ujarnya.